Who Else Wants to Learn Arabic So They Can Speak Arabic Confidently and Naturally?

Halaman

Abu Daud Beureueh singa Aceh Pejuang Syariah

KARENA Syariat Islam , Wali Darul Islam Tentara Islam Indonesia , Tgk. H. Muhammad Daud Beureueh (almarhum) tahun 1962 turun gunung, kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Harta dan tahta apalagi wanita pasti tidak ada nilainya di mata 'Singa Aceh' julukan spektakuler terhadap (Tgk. Muhammad Daud Beureueh), namun dengan tawaran Syariat Islam hati beliau lembut. Ia adalah potret ulama sejati di zamannya, disegani kawan dan lawan serta merupakan panutan rakyat Serambi Mekah. Tak heran jika beliau dari kalangan rakyat Aceh banyak yang memanggil simbol orang tua, Ayah atau Abu Beureueh.
Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik Islam. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir setiap magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di
bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.

Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur). Dari penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan
orang tuanya adalah bila besar nanti ia mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia sekolah,
ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa kerajaan Islam dahulu seperti dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah semangat anti-Belanda/penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih dalam
suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga masyarakat Aceh.

Dalam pusat pendidikan semacam ini, Abu Daud ditempa dan di didik dalam mempelajari tulis-baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dsb), pengetahuan tentang sejarah Islam, termasuk sejarah tatanegara dalam kekhilafahan Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang diperolehnya ini, tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi keulamaannya kelak.

Daud Beureueh tidak suka tari Seudati tari Aceh yang terkenal hingga ke mancanegara. Alasannya, tari Seudati biasa digelar sampai malam, ditonton laki-laki dan perempuan. "Abu berpikir, bila mereka terus pulang berduaan, apa tidak mengundang kemaksiatan?" .
Konon, Abu juga tak senang sepak bola. , memang hampir seluruh ulama Aceh dulu menganggap permainan sepak bola meniru dan mengingatkan orang akan nasib tragis Husein, cucu Nabi yang tewas di Padang Karbala dibantai Muawiyah.
Lehernya dipenggal dan kepalanya ditendang-tendang di tanah. Abu juga tak senang pada para hulubalang elite yang hidup mewah misalnya punya ruko biliar dan klub sepak bola, sebuah gaya hidup yang menurut Daud Beureueh tidak nyambung dengan masyarakat bawah. Semua hal ini mencerminkan betapa sebagai pemimpin Abu amat jauh dari materi. Keimanannya jauh lebih tinggi dari godaan materi. Ia pemimpin yang bersih. Beberapa pejuang yang turun dari hutan mendapat tanah dari pemerintah. Tapi Abu menolak. "Sampai meninggal ia tak punya rumah,".

Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu belajar cepat).
Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian besar karena setiap muslim merasa menuntut ilmu adalah wajib. Maka belajar tentang segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan
"mendirikan shalat". Dalam usia yang sangat muda, yaitu 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-ilmu Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula ia menjadi orator ulung, sebagai "singa podium."
Abu Daud terkenal sebagai orator dan seorang yang pemurah hati. Kepeduliannya pada pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula yang membuatnya pada tahun 1930 mendirikan Madrasah Sa’adah Adabiyah, di Sigli.
Beliau mencapai popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang ulama di Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja. Ketenaran seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas politik yang pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh pejuang Islam-nya.
Beliau juga membangun sebuah tembok besar dan masjid sungguhan dengan tangannya sendiri. Daud Beureueh lebih tampak sebagai pensiunan perwira militer ketimbang sebagai ahli agama, meskipun ia menyandang gelar teungku.
Untuk membungkam dan memadamkan perlawanan Mujahidin Aceh, Belanda, atas saran Snouk Hourgronje, melakukan pengaburan konsep tauhid dan jihad. Belanda membuat aturan pelarangan berdirinya organisasi-organisasi politik Islam. Restriksi ini membuat para ulama di Aceh berang dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan melawan penjajah Belanda. Maka atas inisiatif beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku Abdurrahman, dibentuk sebuah organisasi yang bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Matang Glumpang Dua. Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta ulama, dan mengetuai organisasi politik ulama berarti juga secara fakta menjadi "pemimpin Aceh".
PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.
Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski pada awalnya didirikan dengan latar keagamaan, PUSA akhirnya juga dimusuhi Belanda. Itu semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah belanda. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.

Semenjak itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh para sultan Islam sebelum mereka. Menurut catatan , "M Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara beridiologi Islam untuk seluruh Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi besar bagi penganut Kristen dalam
negara-negara Islam di era ke khilafahan. Kaum non muslim akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak akan pernah dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas tatanan hukum Alquran dan assunah."

Langkah awal dalam upaya itu adalah mengusir segala jenis penjajahan yang pernah dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal kemerdekaan
ketika Daud Beureueh bertemu Presiden Soekarno di Hotel Atjeh (kini tak ada lagi, dulu di seberang kanan Masjid Baiturrahman). Soekarno datang dengan tujuan mengajak Abu Beureueh membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, perang dunia kedua telah usai namun Belanda mulai melancarkan agresi militer untuk menguasai kembali bekas jajahannya selama tiga setengah abad itu.
?Tolong bantu revolusi ini, perjuangan kemerdekaan ini,? kata Soekarno .
Lalu Abu Beueureh pun bertanya kembali kepada Soekarno, ?Untuk apa Indonesia merdeka??
Soekarno pun menjawab: ?Untuk Islam, Kak!
?Betulkah ini?? selidik Beureueh. ?Betul, Kak?. ?Betulkah ini?? ?Betul, Kak?. ?Betulkah ini??
?Betul, Kak. Aku seorang Muslim, ditakdirkan Tuhan sekarang menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama yang baru kita proklamirkan. Sebagai seorang Muslim, saya bersumpah bahwa kemerdekaan kita ini adalah untuk Islam. Jadi tolong Kakak berikan sokongan untuk mempertahankan Republik kemerdekaan kita ini?.
Mendengar jawaban Soekarno, Daud Beureueh kontan memanggil para ulama-ulama Aceh.
?Macam mana??
?Wah ini peluang syahid!? kata para ulama itu. ?Ayo kita bantu! Kita syahid kalau pun mati.
Daud Beureueh: “Saudara presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang jihad atau perang fie sabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid”.
Soekarno: “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tengku Tjik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan 'merdeka atau syahid”.

Daud Beureueh: “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden, dengan demikian boleh lah saya mohon kepada Saudara Presiden bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syari'at Islam di dalam daerahnya”.
Soekarno: “Menge-nai hal itu kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rak-yat Indonesia beragama Islam”.
Daud Beureueh: “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden”.

Soekarno: “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan kakak itu”.

Daud Beureueh: “Alhamdulillah, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon, (sambil menyodorkan secarik kertas kepada Soekarno) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini”.

Mendengar ucapan Tengku Muhammad Daud Beureueh itu, Presiden Soekarno langsung menangis terisak-isak. Air mata yang mengalir di pipinya telah membasahi bajunya. Dalam keadaan terisak itu Presiden Soekarno berkata: “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya”.
Langsung saja Tengku Muhammad Daud Beureueh menjawab: “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi hanya sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berjihad!”.

Lantas Presiden Soekarno, sambil menyeka air matanya berkata: “Wallahi, Billahi, kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syari'at Islam. Dan Wallahi, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syari'at Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah kakak masih ragu-ragu juga?”. Di jawab oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh: “Saya tidak ra-gu lagi Saudara Presiden. Sekali lagi atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden”.

Menurut keterangan Tengku Muhammad Daud Beureueh, oleh karena iba hatinya melihat presiden menangis terisak-isak, beliau tidak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno itu”.

Dari dialog di atas, dapat dimaklumi bahwa secara historis, dari sejak awal masyarakat Aceh ketika bergabung dengan Indonesia, menginginkan otonomi daerah penerapan hukum Islam. Orang Aceh siap membantu pemerintah Indonesia melawan Belanda, dengan suatu syarat, supaya Syari'at Islam berlaku sepenuhnya di Aceh. Atau dengan kata lain, masyarakat ingin di Aceh berlaku Syari'at Islam tetap dalam bingkai NKRI
Sumber :M. Nur El Ibrahmy, Peranan Tengku Daud Beureuh Dalam Pergolakan Aceh (Jakarta: Media Dakwah, 2001)
Kabar kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, terlambat sampai di Aceh. Kabar merdeka baru diterima pada 15 Oktober1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian meledak. “Aceh juga harus merdeka dari Belanda,” pekiknya membangkitkan semangat mengusir Belanda yang berada di Aceh. Segera ia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar mujahidin Aceh mendukung Soekarno.

Selain dukungan untuk Soekarno, masih banyak lagi sumbangsih rakyat Aceh yang nota bene salah satu hasil perjuangan Daud Beureueh. Sumbangsih tanda ukhuwah pada pemerintah antara lain adalah saat ibukota lndonesia masih di Yogyakarta. Ketika kota itu diduduki dan Soekarna-Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer II, tanpa dikomando, mujahid Aceh membangun dua pemancar radio untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu.

Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.

Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang keras ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian Indonesia.
Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana zakat,infaq,sadaqah rakyat.
Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana zakat,infaq,sadaqah rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas batangan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, dan Singapura . Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.

Begitu juga saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittingi dipindahkan ke Kutaraja. Rakyat Aceh menanggung seluruh biaya “akomodasi” pemerintahan darurat. Daftar sumbangsih mujahid Aceh untuk pemerintah Ordelama akan semakin panjang jika kita masih mau mencari. Sebut saja cikal bakal penerbangan Indonesia. mujahid Aceh-lah yang memulai dengan pesawat terbang Seulawah I dan II yang disumbangkan untuk lndonesia.

Akan tetapi, meski Soekarno telah berjanji dengan berurai air mata, ter-nyata ia ingkar dan tidak konsekuen terhadap ucapannya sendiri. , tuntutan untuk hidup di bawah syariat Islam belum juga terwujud. Bahkan rakyat Aceh cenderung menjadi “anak tiri” pemerintahan Oredelama, ketika Soekarno membubarkan Provinsi Aceh dan melebumya menjadi bagian dari Sumatera Utara.
janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi.

Soekarno termasuk pengagum Kemal Attaturk, Presiden Turki keturunan Yahudi yang paling lantang menolak keterlibatan agama dalam urusan politik dan pemerintahan. Demikian ekstrim pendiriannya dalam urusan ini, sehingga ia menghapus sistem kekhalifahan Islam di Turki, mengganti lafadz adzan yang berbahasa Arab menjadi bahasa nasional Turki. Dia berkata: “Agama hanyalah hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan negara adalah milik bersama”. Slogan ini adalah salah satu racun kolonial, tetapi sampai sekarang angin beracun ini masih berhem-bus kencang.

Sebagaimana Kemal Attaturk, dalam pidato agitasinya di Amuntai Kalimantan Selatan, 1954, Soekarno juga pernah menyatakan tidak menyukai lahirnya Negara Islam dari Republik Indonesia.

Mengapa Soekarno ingkar janji terhadap rak-yat Aceh, dan menolak ber-lakunya Syari'at Islam? Menurut pengakuannya sendiri, Soekarno pernah dikader oleh seorang Belanda keturunan Yahudi, bernama A. Baars. “Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, saya di-pengaruhi oleh seorang Sosialis bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, 'jangan ber-paham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kema-nusiaan sedunia'”, kata-nya. Pengakuan ini diung-kapkan di hadapan sidang BPUPKI.
Selanjutnya, dalam pidatonya itu, Soekarno juga menyatakan: “Tetapi pada tahun 1918, alham-dulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Cu I atau The Theree People's Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Di dalam hati saya, sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh buku tersebut”.

Sumber :http://www.arrahmah.com

Melihat kenyataan ini, suatu hari dengan suara masygul, Tengku Daud Beureueh pernah berkata: “Sudah ratusan tahun Syari'at Islam berlaku di Aceh, tetapi hanya beberapa tahun bergabung dengan sukarno, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh karena itu, saya akan pertaruhkan segalanya demi tegaknya Syari'at Islam di Aceh”. , ia berkata lantang di atas mimbar, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri.”
Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam.
Teungku Daud Beureueh menandaskan, jika benar sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia seharusnya tunduk pada kehendak-kehendak mayoritas Muslim. Ia yakin partai-partai Islam akan menang besar dalam sebuah pemilihan umum.

Daud Beureueh melihat ada tiga kelompok di Indonesia dewasa ini: kaum sosialis komunis yang menginginkan negara Marxis-ateis-tik (anti agama), umat Islam yang menghendaki Negara ber idiologi Islam, dan golongan Kapitalis (nasionalis). Ia cemas bahwa golongan Kapitalis dan Marxis sedang mengakar,
tapi merekasendiri khawatir kalau pemilihan umum diadakan, sebab mereka pasti kalah. Karena alasan ini, menurut Daud Beureueh, mereka akan berusaha habis-habisan untuk menunda-nunda pelaksanaan pemilu.
Ketika itu Teungku Daud Beureueh masih berharap dengan Pemilu, namun setelah ia sendiri terjungkal oleh seorang Perdana Menteri yang merupakan output dari sistem pemilu, ia kemudian melabuhkan harapan hanya pada
perjuangan Dakwah dan Jihad. Islam telah dikalahkan secara diplomatis oleh kemenangan-kemenangan Partai Islam yang tidak pernah memberi manfaat apapun bagi asersi politik Islam.
Banyak orang menyebut Daud Beureueh sebagai pemberontak. Pemberontakkah ia, jika setelah sekian lama memberikan baktinya tapi malah dera derita untuk muslim Aceh yang diterimanya?

Masalah yang paling “merisaukan” Aceh adalah keinginan pemerintah pusat untuk menggabungkan Aceh dengan Tapanuli dan Sumatera Timur dalam propinsi Sumatera Utara. Ketetapan Wakil Perdana Menteri Mr. Syafruddin Prawiranegara No. 8\Des\WPM Tahun 1949 tentang status hukum provinsi Aceh dinyatakan tidak sah oleh Aceh. Perubahan Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat dengan 10 provinsi dengan berdasarkan Perpu No. 5 Tahun 1950 telah membuat suasana Aceh menjadi tegang karena kuatnya penolakan Aceh terhadap penyatuan mereka di bawah Sumatera Utara. Kongres PUSA pada tanggal 22 Desember 1950 di Kutaraja mengeluarkan keputusan untuk tetap memperjuangkan otonomi Aceh dengan alasan ciri budaya dan agama yang khas, termasuk sejarah perjuangan dan kontribusi mereka sebagai daerah modal paska kemerdekaan.

Tetapi entah kenapa namun sejarah mencatat---Pemerintah Pusat melalui Kabine Natsir mengambil kebijakan, Aceh yang waktu itu merupakan provinsi tersendiri dilebur dengan Provinsi Sumatera Utara. Tidak itu saja, jabatan Tengku Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer dicopot dan kemudian dipermalukan: mobil dinasnya ditarik ke Medan dan digunakan oleh petinggi provinsi gabungan itu
Berbagai usaha pejabat pemerintah pusat untuk melakukan lobi di Aceh senantiasa gagal, lantaran sampai dengan Kongres PUSA tahun 1953 tetap mengeluarkan keputusan menuntut pembentukan kembali propinsi Aceh.

Sebagai reaksi terhadap pemerintah pusat yang acuh tak acuh, pada tanggal 21 September 1953 Tengku Daud Beureuh akhirnya memproklamasikan Aceh sebagai Negara Islam (Darul Islam) dan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) Imam SM Kartosuwiryo. 38 hari setelah “pemberontakan” tersebut Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memberikan keterangan resmi pemerintah dengan menyatakan bahwa pemberontakan tersebut merupakan pemberontakan segelintir rakyat Aceh. Padahal suasana di seluruh wilayah Aceh terasa sangat revolusioner. Sewaktu mengepung dan menyerang pusat-pusat militer di kota-kota, “tentara” Darul Islam (DI) meneriakkan “Allahuakbar”. Dan Semangat tersebut bertambah marak

Tanggal 19 September 1953 serangan terhadap pasukan pemerintah di Aceh Timur dan Utara dimulai. Pos pasukan di Peureulak diserang ribuan rakyat. Semua komunikasi dengan Aceh putus tanggal 21 September. Tanggal 23-24 September Angkatan Udara membom pasukan DI di Bireun. Takengon jatuh ke tangan DI setelah pasukan pemerintah mundur ke Bireun. Pemerintah orde lama berusaha membujuk rakyat Aceh dengan menyebarkan beribu-ribu edaran yang menyatakan bahwa tindakan DI adalah illegal,sesat dan memperalat agama.
"Sekeras-kerasnya batu, dapat juga dilunakkan air," kata orang bijak. Demikian pula sekeras-kerasnya prinsip Ayah Beureueh, akhirnya beliau luluh dengan sikap lembut dan bijaksana Kolonel Muhammad Yasin, ketika itu. Tawarannya tepat sasaran, yaitu kompensasi pemberlakuan Syariat Islam di Aceh. Mendengar tawaran itu, Abu Beureueh lemah lunglai, tak berdaya. Sebagai seorang ulama, ia tidak mampu berkutik ketika pembicaraan menyentuh hukum Islam.
Begitulah sifat-sifat orang shaleh taat terhadap hukum-hukum Allah, ia pun berucap saat itu 'Laaa syarikala' (tidak ada serikat bagi Engkau (Allah). Semua kepentingan dunia ini kecil, baharu dan fana. Semua yang kaya adalah miskin jika berhadapan dengan kekayaan yang maha agung, semua yang kuat adalah lemah ketika berhadapan dengan kekuatan yang maha kekal dan semua yang mulia adalah hina saat berhadapan dengan kemuliaan mu Ya Allah.
Tak ada keraguan bagi Ayah Beureueh, lebel Syariat Islam yang diberikan kala itu sulit direalisasinya di lapangan, jika tanpa payung hukum (system Islam yang Benar). Rupanya harapan dan cita-cita yang baik itu ibarat kata pepatah orang Padang, 'tak lapuek dek hujan dan tak lekang dek panas'.

Setelah pertumpahan darah dan perundingan yang alot dan adanya persetujuan otonomi untuk Aceh situasi agak mereda. Sebagian prajurit Tentara Islam setelah melalui screening wajib akan dijadikan wajibmiliter darurat. Tanggal 1 Oktober 1959 pemerintah membentuk Divisi Tengku Cik Ditiro sebagai bagian khusus dari divisi tentara di Aceh (Kodam Iskandar Muda). Pegawai-pegawai DI mendapat perlakuan sama. Ini berarti bahwa Pemerintah daerah Aceh akan mengangkat bekas pemberontak yang menyatakan setia dengan Republik Indonesia sebagai pejabat sipil.
Sumber : Anthony Reid, Asal Usul Konflik Aceh (Jakarta: , 2005)

9 April 1962 Tgk.Muhammad Daud Beurueh mengeluarkan sebuah pernyataan di bawah nama 'Mukaddimah Pelaksanaan Unsur-unsur Syariat Islam' dengan kelengkapannya yang berjudul, 'Tuntutan Dasar Mukaddimah Dan lampiran Tuntutan Dasar Mukaddimah'. Dalam mukaddimah pernyataan itu, Tgk.Muhammad Daud Beureueh menyatakan; "Pemerintah RI dengan keputusannya No.1/Missi/1959 telah memutuskan, mengakui hak umum istimewa
untuk Aceh, terutama dalam lapangan keagamaan, peradatan dan pendidikan." Pernyataan misi Pemerintah RI, tertanggal 26 Mei 1959, terutama dalam ayat 2 dari bunyi pernyataan tersebut dengan tegas dan terang menggambarkan betapa jiwa, semangat dan keazaman rakyat Aceh dengan kata-kata: Ternyata, bahwa daerah tersebut dalam suasana geloranya persatuan ketika pecah revolusi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, telah
dapat memberikan amal jasanya yang tak terhingga dalam perjuangan kemerdekaan. Bahwa, kemudian dan penerimaan dan pembenaran dakwah yang dimajukan atas nama rakyat Aceh oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, bertarikh mardlatillah, 24 Jumadil Awal 1381/4 November 1961 kepada Pemerintah RI oleh Menteri Keamanan nasional/Kepala Staf Angkatan Darat bertarikh Jakarta, 21 November 1961. Setelah mukaddimah menyebut surat-surat Kolonel Muhammad Yasin, keputusan penguasa perang Daerah Istimewa
Aceh tentang pelaksanaan Syariat Islam, maka mukaddimah tersebut menyimpulkan. Maka sampailah kita sudah ke pantai emas idaman cita, karenanya perlulah kita memberi wujud dan kenyataan akan pemikiran-pemikiran pokok, merampungkan tugas mulia melaksanakan unsur-unsur Syariat Agama Islam yang suci dalam segala bentuk dan bidang hidup dan kehidupan rakyat Aceh yang diridai Allah, juga sebagaimana yang dicita-citakan oleh para syuhada dan
pahlawan kemerdekaan kita, baik sesudah proklamasi 17 Agustus 1945 maupun sebelumnya.
Maka kemudian dengan memperbanyak doa seraya tunduk sujud menyerah diri ke hadhirat Allah SWT memohon dilimpahkan rahmat, karunia, taufiq dan hidayahNya, semoga rakyat Aceh yang tercinta mendapat inayah dan nushrah dari padaNya, maka mengundang rakyat dan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh dengan segala kehormatan, menyelesaikan dengan penuh keikhlasan akan ketetapan azam dan cita-cita semula, Insya Allah, Allahumma Amin!.
(Mardlatillah Aceh Darussalam, 4 Zulkaedah 1381 H/9 April 1962 M, ttd.Teungku Muhammad Daud Beureueh ), demikianisi mukaddimah tersebut.

Dengan keputusan tersebut, Kolonel Muhammad Yasin melakukan kontak intensif dengan Abu Beurueh (panggilan akrab terhadap Tgk.Muhammad Daud Daud Beureueh ), lewat surat menyurat. Melalui kurir-kurirnya
mengirim delegasi besar dan melakukan perjumpaan langsung di Langkahan, Kabupaten Aceh Utara, sehingga tiba pada kesimpulan, itulah jalan kembali buat Abu Beureueh .
Bertitik tolak dari pernyataan tersebut, kembalinya Daud Beureueh ke pangkuan RI sudah ada kata akhir, tinggal mengatur teknisnya saja bagaimana beliau kembali. Selanjutnya, Kolonel Muhammad Yasin melakukan pendekatan yang amat bijaksana, sesuai adat rakyat Aceh dengan mengirim lagi utusannya untuk menjemput Daud Beureueh . Utusan ini dipimpin Kolonel Nyak Adam kamil, dengan sejumlah orang patut dan terkemuka. Dengan membawa 'ranub lampuan' (sirih dalam cerana).

4 Mei 1962 delegasi Nyak Adam Kamil berangkat dari Banda Aceh menuju Lampahan, tempat bermukimnya Daud Beureueh atau markas terakhir DI/TII. Hari ke enam (9 Mei 1962) delegasi tiba di tempat tujuan dan dengan upacara sederhana, Nyak Adam Kamil mempersembahkan 'ranub lam puana' kepad Daud Beureueh , seraya memohon kesediaan beliau turun bersama delegasi dalam rangka kembali ke pangkuan RI.

Daud Beureueh menerima positif ajakan itu dan pada 10 Mei 1962, beliau meninggalkan markas terakhir DI/TII, lalu menginap di Lhokseumawe dan Beureunuen, serta pada tanggal 13 Mei 1962 Daud Beureueh dan rombongan tiba di masjid Indrapuri yang beberapa ratus tahun lalu dibangun Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam serta bermalam di masjid tersebut, menunggu esok harinya dijemput oleh unsur Pemerintahan Provinsi Dista Aceh, atau Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sumber: Waspada Online
Sebuah peristuwa yang membuat Abu Beureueh mengernyitkan dahi. Adegan ini terjadi pada awal 1980-an di Beureunen kota kecil 15 kilometer dari Sigli, ibu kota Kabupaten Pidie. Ketika itu sang Abu baru pulang dari tahanan rumah di Jakarta. Tengah berjalan-jalan di pasar dia melihat sekerumunan orang sibuk mencoret-coret kertas di sebuah kedai kopi. "Sedang apa mereka itu? Kok, sibuk sekali?" tanya Beureueh kepada Yasin, Camat Beureunen yang mendampinginya. "Mereka menerka kode buntut, Abu," jawab Yasin. Abu bergumam. "Hmm, judi rupanya." Tanpa disangka, Beureueh masuk ke kedai kopi itu. Tiba-tiba dia memukulkan tongkatnya keras-keras ke atas meja. Kertas kode buntut bertebaran. Lalu dengan suara menggelegar, dia menghardik dalam bahasa Aceh kasar: "Peu nyang neu peubut nyan. Buet bui? Apa yang sedang kalian kerjakan ini. Pekerjaan babi? Mereka yang hadir di kedai kopi itu langsung ambil langkah seribu. Tak ada yang berani ambil risiko berurusan dengan tokoh Mujahidin nomor wahid di Pulau Sumatera itu
Ia kemudian meninggal pada tahun 1987 dalam keadaan buta --buta yang menurut kabar disengaja dan dalam suatu prosesi pemakaman yang sangat sederhana, tanpa penghormatan yang layak dari orang-orang Aceh yang sudah terkontaminasi oleh ide-ide sekuler.
bagaimana mengenaskannya saat-saat terakhir dan pemakaman pemimpin Aceh yang terbesar di paruh kedua abad keduapuluh.. Namun, kenyataannya, meninggalnya Teungku Abu Daud Beureueh adalah "meninggalnya seorang suami dan ayah yang dicintai, seorang ulama yang disegani, dan seorang pemimpin masyarakat sekitar yang dihormati." Tidak lebih dari itu. Seakan-akan dan
memang inilah kesimpulan waktu itu bahwa zaman kepahlawanan Teungku Abu Daud Beureueh telah berlalu, hampir tanpa bekas. Bersamaan berpulangnya "Bapak Orang-Orang
Aceh", maka kini Aceh kemudian memasuki babak baru pembangunan dan modernisasi yang gempita di mana kemaksiatan Sistem Kapitalisme, Demokrasi dan sekulerisme seperti agama baru yang disambut banyak kalangan terpelajar perkotaannya secara sangat antusias.

sumber© Suara Hidayatullah .com, 1999

Related Article:

0 comments:


 
Copyright 2010 skooplangsa. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog