Beliau wanita yang bersegera masuk Islam, salah seorang dari dua wanita yang bersama para utusan Anshar yang datang ke Mekah untuk melakukan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disamping memiliki sisi keuatmaan dan kebaikan, ia juga suka berjihad, pemberani, dan tidak takut mati di jalan Allah.
Nusaibah ikut pegi berperang dalam Perang Uhud besama suaminya (Ghaziyah bin Amru) dan bersama kedua anaknya dari suami yang pertama (Zaid bin Ashim bin Amru), kedua anaknya bernama Abdullah dan Hubaib. Di siang hari beliau membeikan minuman kepada yang terluka, namun tatkala kaum muslimin porak-poranda beliau segera mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa pedang (untuk menjaga keselamatan Rasulullah) dan menyerang musuh dengan anak panah. Beliau beperang dengan dahsyat. Beliau menggunakan ikat pinggang pada peutnya hingga teluka sebanyak tiga belas tempat. Yang paling parah adalah luka pada pundaknya yang tekena senjata dai musuh Allah yang bernama Ibnu Qami’ah yang akhirnya luka tersebut diobati selama satu tahun penuh hingga sembuh.
Nusaimah sempat mengganggap ringan lukanyayang berbahaya ketika penyeru Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru agar kaum muslimin menuju Hamraul Asad, maka Nusaibah mengikat lukanya dengan bajunya, akan tetapi tidak mampu untuk menghentikan cucuran darahnya.
Ummu Umarah menuturkan kejadian Perang Uhud demikian kisahnya, “Aku melihat orang-oang sudah menjauhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga tinggal sekelompok kecil yang tidak sampai bilangan sepuluh orang. Saya, kedua anakku, dan suamiku berada di depan beliau untuk melindunginya, sementara orang-orang koca-kacir. Beliau melihatku tidak memiliki perisai, dan beliau melihat pula ada seorang laki-laki yang mundur sambil membawa perisai. Beliau besabda, ‘Beikanlah perisaimu kepada yang sedang berperang!’ Lantas ia melempakannya, kemudian saya mengambil dan saya pegunakan untuk melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu yang menyerang kami adalah pasukan bekuda, seandainya mereka berjalan kaki sebagaimana kami, maka dengan mudah dapat kami kalahkan insya Allah. Maka tatkala ada seorang laki-laki yang berkuda mendekat kemudian memukulku dan aku tangkis dengan pisaiku sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa degan pedangnya dan akhirnya dia hendak mundur, maka aku pukul urat kaki kudanya hingga jatuh teguling. Kemudian ketika itu Nabi berseru, ‘Wahai putra Ummu imarah, bantulah ibumu… bantulah ibumu….’ Selanjutnya putraku membantuku untuk mengalahkan musuh hingga aku berhasil membunuhnya.” (Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/412).
Putra beliau yang bernama Abdullah bin Zaid bekata, “Aku teluka. Pada saat itu dengan luka yang parah dan darah tidak berhenti mengalir, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Balutlah lukamu!’ Sementara ketika itu Ummu Imarah sedang menghadapi musuh, tatkala mendenga seruan Nabi, ibu menghampiriku dengan membawa pembalut dari ikat pinggangnya. Lantas dibalutlah lukaku sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, ketika itu ibu bekata kepadaku, ‘Bangkitlah besamaku dan terjanglah musuh!’Hal itu membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapakah yang mampu berbuat dengan apa yang engkau perbuat ini wahai Ummu Imarah?’
Kemudian datanglah orang yang tadi melukaiku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Inilah yang memukul anakmu wahai Ummu Imarah!” Ummu Imarah becerita, “Kemudian aku datangi orang tersebut kemudian aku pukul betisnya hingga roboh.” Ummu Imarah melihat ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum karena apa yang telah diperbuat olehnya hingga kelihata gigi geraham beliau, beliau bersabda, “Engkau telah menghukumnya wahai Ummu Imarah.”
Kemudian mereka pukul lagi dengan senjata hingga dia mati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memenangkanmu dan meyejukkan pandanganmu dengan kelelahan musuh-musuhmu dan dapat membalas musuhmu di depan matamu.” (Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/413 — 414).
Selain pada Perang Uhud, Ummu Imarah juga ikut pada dalam bai’atur ridwan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Hudaibiyah, dengan demikian beliau ikut serta dalam Perang Hunain.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ada bebeapa kabilah yang mutad dari Islam di bawah pimpinan Musailamah al-Kadzab, selanjutnya khalifah Abu Bakar ash-Shidiq mengambil keputusan untuk memerangi orang-orang yang murtad tesebut. Maka, bersegeralah Ummu Imarah mendatangi Abu Bakar dan meminta ijin kepada beliau untuk begabung bersama pasukan yang akan memerangi orang-orang yang mutad dari Islam. Abu Bakar ash-Shidiq bekata kepadanya, “Sungguh aku telah mengakui peranmu di dalam perang Islam, maka berangkatlah dengan nama Allah.” Maka, beliau berangkat bersama putranya yang bernama Hubaib bin Zaid bin Ashim.
Di dalam perang ini, Ummu Imarah mendapatkan ujian yang berat. Pada perang tesebut putranya tertawan oleh Musailamah al-Kadzab dan ia disiksa dengan bebagai macam siksaan agar mau mengakui kenabian Musailamah al-Kadzab. Akan tetapi, bagi putra Ummu imarah yang telah terbiasa dididik untuk besabar tatkala beperang dan telah dididik agar cinta kepada kematian syahid, ia tidak kenal kompomi sekalipun diancam. Tejadilah dialog antaranya dengan Musailamah:
Musailamah: Engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?
Hubaib: Ya
Musailamah: Engkau besaksi bahwa aku adalah Rasulullah?
Hubaib: Aku tidak mendengar apa yang kamu katakan itu.
Kemudian Musailamah al-Kadzab memotong-motong tubuh Hubaib hingga tewas.
Suatu ketika Ummu Imarah ikut serta dalam perang Yamamah besama putranya yang lain, yaitu Abdullah. Beliau bertekad untuk dapat membunuh Musailamah dengan tangannya sebagai balasan bagi Musailamah yang telah membunuh Hubaib, akan tetapi takdir Allah menghendaki lain, yaitu bahwa yang mampu memlukai Musailamah adalah putra beliau yang satunya, yaitu Abdullah. Ia membalas Musailamah yang telah membunuh saudara kandungnya.
Tatkala menyerang Musailamah, Abdullah bekeja sama dengan Wahsyi bin Harb, tatkala ummu imarah mengetahui kematian si Thaghut al-Kadzab, maka beliau bersujud syukur kepada Allah.
Ummu Imarah pulang dari peperangan dengan membawa dua belas luka pada tubuhnya setelah kehilangan satu tangannya dan kehilangan anaknya yang terakhir, yaitu Abdullah.
Sungguh, kaum muslimin pada masanya mengetahui kedudukan beliau. Abu Bakar ash-Shidiq penah mendatangi beliau untuk menanyakan kondisinya dan menenangkan beliau. Khalid si pedang Islam membantu atas penghomatannya, dan seharusnyalah kaum muslimin di zaman kita juga mengetahui haknya pula. Beliau sungguh telah mengukir sejarahnya dengan tinta emas.
Sumber: kitab Nisaa’ Haular Rasuul, karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi
Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan terdahulu, bahwa menurut pendapat yang rajih, jihad tidak diwajibkan bagi wanita sekalipun dalam kondisi jihad fardhu ‘ain, seperti pada saat mobilisasi umum dan saat musuh menyerang sebuah wilayah Islam. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz, Dr. Abdullah bin Ahmad Al Qodiri, dan Dr. Muhammad Khair Haikal. Hukum jihad bagi wanita hanya sampai pada batasan mubah/sunnah. Meskipun demikian, tak dapat dinafikan peran mereka yang sedemikian besar di dalam jihad dan persiapannya sebagaimana diceritakan dalam sejarah. Ada Ummu Sulaim yang memegang ‘khanjar’ (pedang pendek) dalam perang Hunain, Ummu Amarah yang turut berperang dalam perang Uhud, Nusaibah binti Ka’ab yang kehilangan tangannya dalam perang yamamah, juga para wanita yang turut bertempur dalam perang Yarmuk karena serangan tentara Romawi mencapai barisan belakang tentara Islam. Di sana juga ada ibunda Khansa yang mempersembahkan keempat puteranya dalam kemuliaan jihad sehingga mencapai syahadah, yang kemudian dengan bangga dan bahagia menerima kesyahidan mereka melalui ucapan beliau, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kesyahidan mereka, mudah-mudahan Allah berkenan mengumpulkanku bersama mereka.” Inilah justru kebesaran peran wanita di dalam jihad dan meninggikan dien Islam yang sering dilupakan, mendidik anak-anak untuk mencintai jihad dan kematian. Tak mungkin lahir mujahid-mujahid Islam yang tangguh melainkan dari ibunda mujahidah yang hebat.
Para wanita shahabiyah adalah teladan yang utama bagi para wanita sesudahnya yang menginginkan kemuliaan hidup yang sesungguhnya. Mereka hidup di zaman terbaik sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasululloh shalallahu 'alaihi wasallam, “Sebaik-baik kurun adalah kurunku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya.” (HR. Bukhari) Tidak ada kebaikan bagi diri dan dien ini melainkan dengan mengikuti mereka yang hidup di kurun terbaik. Bahkan wanita adalah parameter, dengan siapa mereka berkiblat kita bisa mengetahui siapa mereka. Kondisi umat juga bisa diketahui dengan melihat kepada siapa para wanitanya mencari panutan. Jika para wanitanya mengikuti keagungan para mujahidah yang terpercaya,jujur,berakhlak baik,taat, maka mulialah umat ini. Sebaliknya jika para wanitanya mengikuti kerendahan orang-orang kafir yang suka menipu, sesat dan menyesatkan, selalu dalam kebimbangan, maka merugilah umat ini.
Pada zaman pertama-tama Islam, terjunnya wanita ke medan jihad bukan disebabkan karena sedikitnya laki-laki tetapi karena kecemburuan dan kecintaan mereka yang tinggi kepada Allah dan berkorban fisabilillah. Hal itu diterangkan oleh riwayat Ahmad dari Hasyraj bin Ziyad AlAsyja’I, dari neneknya yaitu ibu dari ayahnya yang berkata, “Aku keluar bersama Rasululloh shalallahu 'alaihi wasallam pada perang Khaibar dan aku adalah wanita keenam dari enam wanita yang ikut. Kemudian Rasululloh shalallahu 'alaihi wasallam menyampaikan bahwa ada seorang wanita yang bersamanya dan mengirimnya kepada kami dan bertanya, “Apa yang membuat kalian keluar? atas perintah siapa kalian keluar?.” Kami berkata, “Kami keluar untuk membawakan anak panah, memberi minum pasukan, mengobati pasukan yang terluka, menyenandungkan syair yang dapat meneguhkan fie sabilillah.” Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berkata, “Bangunlah kalian dan bergabunglah!” Maka tatkala Alloh membukakan Khaibar bagi Rosululloh, beliau mengeluarkan anak panah sebagaimana anak panah laki-laki, aku bertanya, “Wahai nenek, apa yang telah dikeluarkan untuk kalian?” Dia menjawab, “Kurma.” Maka barangsiapa juga mencintainya untuk jihad dan tebusan bagi dien ini, sungguh kecintaan yang shadiq akan menyampaikannya pada telaga jihad dari Rasululloh shalallahu 'alaihi wasallam.”
Sebagaimana pula dalam riwayat Bukhari dan Sunan Nasa’I, dari Aisyah radliyallahu ‘anha bahwasanya ia berkata, “Aku bertanya, ya Rasululloh, tidak bolehkah kami keluar untuk berjihad bersamamu? Karena sesungguhnya aku tidak melihat dalam Al Qur’an satu amalan yang lebih utama daripada jihad.” Rasululloh menjawab, “Tidak, akan tetapi sebaik-baik jihad bagi kalian dan sebagus-bagusnya adalah haji mabrur ke Baitulloh.” Dalan riwayat Ahmad dan Bukhori, Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam berkata, “Tidak, jihad kalian adalah haji mabrur, dan itu jihad bagi kalian.
Ada perbedaan yang amat besar antara wanita kemarin dan wanita sekarang. Wanita yang hidup di kurun terbaik begitu menginginkan syariat jihad berlaku bagi mereka karena kecintaan mereka yang teramat besar terhadap dien ini, sementara wanita yang hidup di kurun ini ingin agar firman Alloh (“diwajibkan atas kamu berperang…”) tidak diturunkan secara khusus jika ia tahu bahwa anaknya atau ayahnya atau suaminya akan memenuhi seruan Alloh dan berjihad di jalanNya untuk mempertahankan dien ini. Keutamaan mereka sangat jauh berbeda, melahirkan umat yang jauh berseberangan. Wanita kemarin melahirkan rijal-rijal yang memiliki leher-leher yang kuat demi menghancurkan orang kafir seluruhnya, sedangkan wanita sekarang hanya melahirkan laki-laki yang menjadi budak sapi, batu, pohon, salib dan kerajaan.
Dari beberapa hadits yang terangkum di atas, juga hadits-hadits yang disebutkan terdahulu kita dapati bahwa keterlibatan wanita di medan jihad adalah sesuatu yang diperintahkan oleh syari’at. Akan tetapi syari’at juga mengatur peran serta mereka sehingga persyaratan-persyaratan syar’I yang dimaksudkan untuk menjaga kaum wanita tetap terpenuhi. Syaikh Dr. Abdullah Azzam menyebutkan dalam kitabnya ‘Ittihaafu al ibad fie fadhail al jihad’ bahwa persyaratan-persyaratan syar’I yang dimaksud meliputi; adanya mahram, tidak terjadi ikhtilat (percampuran antara laki-laki dan wanita), aman dari fitnah, bukan wanita muda lagi cantik, menutup wajah di hadapan laki-laki atau pada urusan draurat yang tidak bisa ditangani kaum laki-laki. Oleh karena itu, memungkinkan bagi para wanita untuk terjun di garis belakang melaksanakan tugas dapur umum, merawat pasukan yang terluka dan pekerjaan-pekerjaan wanita lainnya. Adapun tugas sebagai pembuka pintu (dalam front) dalam hal ini merupakan sebuah mafsadah (kerusakan) yang besar.
Mengenai keikutsertaan wanita-wanita muda dalam jihad, Ibnu Qudamah berkata: “Dan tidak disukai masuknya para wanita muda kedalam negeri musuh, karena sesungguhnya mereka bukanlah dari ahli (pasukan) perang dan sedikit manfaat dengan keberadaan mereka didalamnya, karena hal itu hanya akan memberi peluang kepada orang yang lemah mental dan pengecut untuk menguasai mereka dan tidak memberi rasa aman dari tujuan musuh terhadap mereka lalu musuh itu menghalalkan apa yang diharamkan Alloh terhadap wanita-wanita tersebut.” (AlMughni j.8 h.315)
Demikianlah sekelumit kisah dari mujahidah di masa rasul tentang keberanian, keteguhan dan kesabaran mereka. Tak ada kewajiban bagi seorang muslimah untuk terjun ke medan perang –karena adanya fitnah dan sedikitnya rasa malu-, tetapi kewajiban utama yang terpenting adalah meneladani para wanita terdahulu dalam mengobarkan semangat jihad dan I’dad (melakukan upaya-upaya persiapan) untuk jihad, kesabaran mereka menetapi jalan jihad serta kerinduan dan keinginan mereka yang sangat untuk berperan akitif dengan segala hal dalam mencapai kemenangan dien Islam ini.
Sungguh, jika kita rela dengan memilih kehidupan dunia daripada dien ini, rela dengan kehinaan dan kerendahan bagi diri dan umat ini, maka kita tak memiliki sesuatupun dari Allah Ta’ala, dan kita perlu khawatir akan mendapatkan kemarahan dan kemurkaanNya. Hendaklah kita bertaqwa kepada Allah, dan tidak menjadi penghalang bagi setiap laki-laki yang ingin berjihad apakah itu anak, suami, saudara atau selain mereka dengan mengalihkan perhatian mereka dari jihad, karena hal ini termasuk dalam perbuatan menghalang-halangi dari jalan Allah dimana Allah takkan meridhai perbuatan ini selama-lamanya. Justru seharusnya kita mengingatkan kelalaian mereka dan mengobarkan api jihad yang meredup dalam hati mereka. Karena kemuliaan dan ketinggian dien ini hanya dapat dicapai dengan dakwah dan jihad, dan kemuliaan kita di hadapan Allah dan seluruh makhlukNya juga hanya dapat diraih dengan dakwah jihad.
wahai pemuda pemudi islam perlu kita ketahui juga bahwa Allah SWT telah memperingatkan kita dalam firman-Nya “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar” QS An Nisa’ : 95
untuk itu wahai pemuda islam mari kita perjuangkan kembali tegaknya kembali intitusi penegak syariah,penjaga ukhuwah,pemersatu umat .dengan memperjuangkan kembali khilafah islamiah yang mengikuti metode kenabian
sehingga kaum muslimin tidak mudah lagi di hinakan,
kaum muslimin tidak akan di biarkan kelaparan,
kaum muslimin tidak akan lagi teraniaya,
apalagi dibunuh dan dibantai dengan kejam.
maka sudah cukup tetesan air mata berlinang,
sudah cukup lumuran darah bercucuran,
sudah cukup korban jiwa berjatuhan,
sudah cukup kebinasaan manusia,
Tidak rindukah engkau wahai para pemuda dengan surga dan bidadari-bidadari bermata jeli, untuk berjihad di belakang Khalifah..?!!
Tidak rindukah engkau wahai para pemuda dengan surga dan bidadari-bidadari bermata jeli, untuk berjihad di belakang ar-Rayaa yang dahulu Khalid bin Walid menggenggamnya..?!!
Tidak rindukah engkau wahai para pemuda dengan surga dan bidadari-bidadari bermata jeli, untuk berjihad di belakang al-Liwaa yang dahulu Ali bin Abi Thalib menggenggamnya pada perang Khaibar..?!!
Perlu berapa nyawa lagi, agar engkau tergerak masuk ke dalam barisan para pejuang Islam yang ikhlas menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah, wahai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala..?!!
Perlu berapa nyawa lagi, agar tanganmu terkepal menggenggam bendera Islam, wahai umat Muhammad Shallallhu ‘alaihi wa sallam..?!!
Perlu berapa nyawa lagi, agar kakimu berlari untuk menyongsong Dakwah dan Jihad, wahai penerus Muhammad al-Fatiih..?!!
Perlu berapa nyawa lagi, agar badanmu tergerak untuk memusnahkan sistem kapitalis sekuler demokrasi Jahiliyyah yang ada sekarang dan menggantinya dengan Sistem Islam Rahmatan lil ‘alaamiin, wahai penerus Umar Bin Khattab..?!!
Perlu berapa nyawa lagi, agar matamu meneteskan air yang dapat menyelamatkanmu di akhirat kelak, wahai umat terbaik..?!!
Belum cukupkah derita kaum Muslimin di Afganistan memanaskan nadi-nadi kita untuk bertakbir di bawah bendera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam..?!!
Belum cukupkah derita kaum Muslimin di Palestina meletupkan kepala kita untuk berjihad dibawah bendera RasuluLlah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam..?!!
Belum cukupkah derita kaum Muslimin di seluruh negeri-negeri Islam membakar darah kita untuk berjuang demi tegaknya syariah dan Khilafah..?!!
Yaa ayyuhal Mukminuun… Yaa ayyuhasysyabaab
Marilah kita berjuang bersama-sama bahu-membahu bersatu-padu untuk melanjutkan kehidupan Islam dan mengembalikan ‘Izzul Islam wal Muslimin dengan mendirikan kembali Daulah Khilafah Rosyidah Islamiyah…
dan wahai kaum Muslimin ketahuilah bahwa Allah telah berjanji dalam firman-Nya “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa…” QS An Nuur : 55
maka dengan pedoman janji Allah SWT tersebut dapat dipastikan
bahwa masa depan dunia adalah ISLAM
masa depan dunia adalah diterapkanya hukum-hukum Al Qur’an dan As Sunnah
masa depan dunia adalah ditegakanya Syariah Islam
masa depan dunia adalah berdirinya kembali Daulah Khilafah ‘ala manhaj kenabian
Allahu Akbar…
Yaa ayyuhal Mukminuun… Yaa ayyuhasysyabaab
mari kita sambut janji Allah SWT tersebut dengan berjuang
mari kita songsong janji Allah SWT dengan berkorban
mari kita wujudkan janji Allah SWT dengan berdakwah
mari kita buktikan janji Allah SWT dengan berjihad
“Ya Allah…muliakanlah Islam dan kaum Muslimin, serta hinakanlah siapa saja yang memerangi Kami!! dan berikanlah pertolonganmu dalam perjuangan menegakan Daulah Khilafah Aamien….”
ya Allah sungguh hanya kepada engkaulah orang - orang mukmin bersujud dan mengadu akan kehidupan dunia yang membuat mereka kadang terlupakan akan kehidupan akhirat, maka berilah kami semangat memperjuangkan agama mu yang engkau berikan kepada Umu Imarah dan Putranya pada kami dan keberhasilan yang engkau berikan kepada umar ibn abdul aziz untuk kembali menegakan ajaran mu ya Allah…….. jadikanlah kami hamba yang berguna bagi tegaknya agama mu yang mulai runtuh sebagai mana sallahuddin al ayubi berusaha tetap menegakan ajaranmu di saat umat islam terpecah dan orang - orang kafir berkuasa …ya Allah kami muak hidup dalam naungan hukum buatan manusia maka tolonglah kami ya Allah dalam meneggakkan kembali Syariah mu dalam naungan daulah Khilafah islamiah amin ya roobal alamin…….
Related Article:
0 comments:
Posting Komentar