Manusia
diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah
sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan
yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak,
lalu mati.
Manusia
diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan
yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan
sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia.
Diantara
potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang
diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik
kepada lawan jenis (gharizatu nawu). Naluri ini merupakan dorongan yang muncul
pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar.
Sebagai
contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan yang
‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan seorang
akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok yang ‘special’
sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar
namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan
menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya
antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.
Islam
memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu
ataupun terlarang.
Oleh
karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai
makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang
harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa
oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan
masalah yang satu ini.
Diantaranya
adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang
harus dipilih oleh seorang muslim ketika dirinya terdiagnosa telah mengidap
gejala-gejala terserang ‘virus merah jambu’ apalagi jika sudah sampai pada
stadium yang akut
I. Pengertian Khithbah
Dalam
merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh
oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk
menjadi calon istrinya.
Secara
syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan)
kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya
khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping
hidupnya.
Pendapat
lain menjelaskan ,menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah menampakan
keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu
perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya).
Islam telah menganjurkan dan bahkan
memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan. Berkaitan dengan
anjuran untuk menikah,Allah Swt, berfirman :
(Nikahilah oleh
kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu Mas’ud
menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
‘Wahai para
pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah
ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga
kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena
hal itu dapat menjadi perisai’.
Diantara
peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan
oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti
Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut:
‘Abdurrahman
Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan
urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf)
berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR.Bukhari)
Abdurrahman
Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw. Ketika itu
Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fii
sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang
kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligusmenikahinya.
kejadian ini
menunjukan seorang laki-laki boleh meminang secara langsung calon istrinya
tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur
atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf atas kejadian ini.
Selain itu,
seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi
suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at
Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
‘Pernah ada
seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata ‘Wahai
Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’. Rasulullah Saw
lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika melihat
bahwa Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun tertunduk”
(HR.Bukhari)
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan jalan untuk
mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya terkait dengan
tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara
langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.
II. Proses Khitbah
Dalam
beberapa dalil di atas telah diungkapkan tentang bagaimana proses khithbah
dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri oleh
seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian
bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat.
Selain itu ada beberapa hal yang juga perlu difahami ketika melakukan khitbah,
antara lain:
a. Kebolehan
Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
sebagian
ulama berpendapat, diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat wanita yang
dilamarnya, tetapi ia tidak boleh melihat auratnya. Sebagaimana Jabir
menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
‘Jika salah
seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat
sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah
ia melihatnya. (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Dibolehkannya
melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah,
diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk
menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat mengkhithbah.
Sebagian
ulama lagi membolehkan untuk melihat bukan hanya wajah dan telapak tangan,
melainkan lebih dari itu karena wajah dan telapak tangan merupakan anggota
badan perempuan yang terlihat sehari-hari. Sehingga perintah untuk melihat,
dalam hadits tersebut tentu yang dimaksud bukan hanya wajah dan telapak tangan
b. Tidak
Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
Seorang
ikhwan tidak boleh mengkhithbah seorang akhwat yang masih berada dalam
khithbah-an ikhwan lainnya, kecuali setelah khithbah tersebut dilepaskan oleh
ikhwan yang pertama atau karena alasan syar’i lainnya seperti meninggal dunia,
dll). Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:
Seorang
mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Tidak halal seorang mukmin menawar
diatas tawaran saudaranya dan meminang (seorang wanita) diatas pinangan
saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu) sudah ditinggalkannya (HR. Muslim
dan Ahmad)
Dalam
riwayat yang lain, Rasulullah Saw bersabda:
Tidak boleh
seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh saudaranya hingga
ia menikahinya atau meninggalkannya (HR. Abu Hurayrah)
c.
Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak Khithbah
jika seorang
wanita telah dilamar, maka dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun
menolak calon suaminya, bukan hak salah seorang walinya ataupun orang-orang
yang akan mengawinkannya tanpa seizin wanita yang bersangkutan, dan dia pun
tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah.
Dalam hal
ini, Rasulullah Saw bersabda:
Seorang
janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus
dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya (HR.Ibnu Abbas)
Adapun Abu
Hurayrah menuturkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut:
Rasulullah
Saw bersabda,’Seorang janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan
seorang gadis tidak dinikahi kecuali setelah diminta izinnya’ Para sahabat lalu
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?’ Beliau menjawab,’Izinnya
adalah diamnya’.
Hadits-hadits
di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa seorang wanita yang tidak
dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang tua/walinya) maka
pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau
menikah secara terpaksa, berarti akad pernikahannya rusak, kecuali jika ia
berbalik pikiran atau ridha.
d. Tidak
Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin
Aktivitas
tukar cincin adalah saling memberikan cincin (untuk dipakai) antara calon suami
dan calon istri sebagai pertanda adanya ikatan pertunangan di antara mereka.
Aktivitas ini biasanya dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat.
Beberapa
ulama mengungkapkan bertukar cincin bukan merupakan cara islam melainkan cara
bangsa Roma (eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling tukar
cincin pada mulanya bukan merupakan cara umat kristiani pula, melainkan warisan
kebudayaan bangsa Romawi. Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw
melarang kaum muslimin untuk meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda:
Siapa saja
yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu Dawud)
e. Khitbah
Bukanlah Setengah Pernikahan
Kekeliruan
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring
mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah
melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti
suami-istri asal tidak kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol
berduaan, dll.
khitbah
bukanlah pernikahan, sehingga akad khitbah bukanlah akad pernikahan. Khithbah
sebenarnya hanya merupakan janji kedua pihak untuk menikah pada waktu yang
disepakati. Dengan demikian setelah akad khithbah dilangsungkan, maka status
bagi keduanya adalah tetap orang asing (bukan mahram) antara satu dengan
lainnya.
Kendati
demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling
melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian
masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena,
khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu
sama lain dengan cara yang ma’ruf.
Berkaitan
dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda:
‘Saling
memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’ (HR.Abu
Hurayrah)
Selain itu,
Allah Swt juga telah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk
senantiasa bertakwa kepada-Nya:
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah
perkataan yang benar (QS. Al-Ahzab [33]:70)
Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada
wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya,
(QS. An-Nur [24]:30-31)
III. Kurun Waktu Dalam Menempuh Khithbah
Kurun waktu
khithbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad khithbah)
hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah)
Bagi seorang
ikhwan yang telah mengkhithbah akhwat, berapa lamakah rentang waktu yang harus
ia lewati hingga ia dapat melangsungkan pernikahan dengannya?
Berdasarkan
peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yaitu antara
Abdurrahman Bin ‘Auf terhadap Ummu Hakim Binti Qarizh, dimana Abdurahman Bin
‘Auf telah melakukan pengkhitbahan secara langsung kepada Ummu Hakim kemudian
dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu itu. Terhadap kejadian ini
Rasulullah tidak menyalahkan perbuatan Abdurahman Bin ‘Auf, yang berarti pula
hal ini menunjukan persetujuan Beliau Saw. .
Jadi,
sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan pernikahan
pasca dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan satu
tahun setelahnya. Hanya saja berkaitan dengan hal ini, syara’ juga menganjurkan
untuk menyegerakan suatu perbuatan kebaikan apabila telah diniatkan. Rasulullah
Saw telah mengingatkan:
Bersegeralah
beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam yang gelap.
(saat itu) di pagi harinya seseorang beriman tetapi di sore harinya ia menjadi
kafir. Di sore hari seseorang beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia menjual
agamannya dengan harta dunia
(HR.Muslim
dan Abu Hurayrah)
Melaksanakan
pernikahan dengan segera apabila segala sesuatunya telah disiapkan dan
dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain juga tidak mengabaikan kebutuhan
materi) merupakan hal yang dianjurkan.
Firman Allah
Swt:
Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian*] diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS.
An-Nur[24]:32)
*] Maksudnya:
hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami,
dibantu agar mereka dapat kawin.
Rasulullah
Saw bersabda:
Wahai para
pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk kawin maka menikahlah
(HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Tiga
golongan yang berhak ditolong oleh Allah Swt, yaitu Pejuang di jalan Allah,
mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi
pembayarannya, dan orang yang menikah karena hendak menjauhkan diri dari
perkara haram. (HR. At-Turmudzi)
Dengan
demikian dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga pernikahan,
tergantung pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak (dan keluarganya)
sehingga kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi acuan untuk menetapkan
waktu pelaksanaan pernikahan setelah mempertimbangkan berbagai hal dan
kemampuan yang mendukung terlaksananya pernikahan tersebut.
Apabila
rentang antara khithbah dengan pernikahan ternyata cukup jauh, maka harus tetap
adanya upaya untuk saling menjaga diri dalam keimanan dan ketakawaan kepada
Allah Swt. Karena dalam rentang ‘masa penantian’ tersebut sangat mungkin muncul
godaan-godaan untuk terjerumus pada pelanggaran syari’at ataupun godaan untuk
berpaling kepada seorang calon yang lain, dan sebagainya. Namun bagi seorang
mukmin tentu harus mewaspadai hal ini, sehingga senantiasa diperlukan adanya
upaya diantara keduanya untuk saling berkomunikasi dan mengingatkan pada
ketakwaan, yaitu:
Dan barang
siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia shaum karena sesungguhnya
shaum itu merupakan benteng (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Barang siapa
beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak boleh sekali-kali ia menyendiri
dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, sebab nanti yang
ketiganya adalah syetan (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka
taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9]:71)
Ataupun,
juga perintah-Nya:
dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS.Al-Maidah[5]:2)
Keberlangsungan
khitbah pada waktunya akan berakhir pada satu diantara dua pilihan yaitu
berlangsungnya akad pernikahan atau terjadinya pembatalan khitbah.
Kedua hal
ini merupakan konsekuensi yang relevan dengan fungsi dan tujuan khithbah itu
sendiri, sehingga jangan sampai dianggap sebagai ending of story yang harus
dipaksakan. Karena pernikahan yang terpaksa hukumnya tidak sah, dan pembatalan
khithbah tanpa alasan yang syar’i juga tidak diperkenankan.
IV. Pembatalan Khithbah
Dalam
melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh
kedua belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap, dan
sebagainya, satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khithbah itu
sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat
aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh dengan cara yang ma’ruf, maka
apabila ketika dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak menilai dan
mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap calon
pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah tersebut.
Pembatalan
khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap hal
ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa
pembatalan khithbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi
calon yang lainnya memiliki banyak kekurangan kemudian ia pun menganggap
sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya
(setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan
tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan khithbahnya dengan seseorang.
Padahal itu
hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya karena lebih terdorong oleh
emosional dan kelemahan iman.
Seperti
halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah dengan
pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi
ketentuan syara’. Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu diperhatikan
adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut
terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan
kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut
bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar
bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda islam, memiliki
kelainan seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta alasan-alasan
lain yang dinilai dapat menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga
nantinya apabila berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah.
Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut,
pembatalan khithbah juga berlaku apabila adanya qada dari Allah Swt semisal
kematian yang menimpa salah satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkan
akad pernikahan. Selain atas dasar alasan-alasan yang syar’i, maka pembatalan
khithbah tidak boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama
lain dan merupakan ciri dari orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi
janji untuk menikahi pihak yang dikhithbahnya.
Rasulullah
saw bersabda:
Sifat orang
munafik itu ada tiga; apabila berkata ia berdusta, bila berjanji, ia menyalahi,
dan bila dipercaya ia berkhianat. (HR. Bukhari)
Adapun
berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai hadiah/ hibah dan
dilakukan sebelum pembatalan khithbah, maka sesuatu/benda tersebut tetap
menjadi hak milik pihak penerima. Pihak pemberi, juga tidak boleh meminta
kembali sesuatu/ benda yang pernah diberikannya tersebut.
Rasulullah
Saw pernah bersabda:
Tidak halal
seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu, meminta
kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya (HR. Abu Dawud, Ibnu
Majah, Tirmizi, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas)
membatalkan
pinangan adalah menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat
perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janji dalam pinangan, islam tidak
menjatuhkan hukuman materiil, sekalipun perbuatan tersebut dipandang cela oleh
sebagian orang.
Mahar yang
telah diberikan oleh peminang (untuk pernikahan nantinya) kepada pinangannya
berhak diminta kembali bila akad pernikahannya tidak jadi (karena mahar itu
hanya diberikan sebagai ganti dan imbalan dalam pernikahan). Selama akad
pernikahan belum terjadi, maka pihak perempuan belum mempunyai hak untuk
memanfaatkan mahar tersebut sekalipun telah ia dapatkan.
Adapun
berbagai pemberian dan hadiah (selain mahar) maka hukumnya berbeda dengan hukum
mahar, yaitu sebagai hibah. Secara syar’i, hibah tidak boleh diminta kembali,
karena merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian
atas sesuatu. Bila barang yang dihibahkan telah diterima dari si pemberi, maka
bagi pihak penerima barang tersebut sudah menjadi kepemilikan bagi dirinya dan
ia berhak untuk memanfaatkannya.
mengungkapkan
bahwa sikap terbaik ketika seorang mukmin menghadapi kenyataan ini (pembatalan
khithbah) adalah berserah diri kepada Allah Swt serta hanya memohon kebaikan
kepada-Nya. Rasulullah Saw, bersabda:
Menakjubkan
keadaan seorang mukmin! Sebab, segala keadaannya untuknya adalah baik, dan
tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin: Jika ia mendapat
nikmat maka ia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan jika ia menderita
kesusahan ia bersabar, maka itupun baik baginya. (HR. Muslim)
Demikianlah
sekilas pandangan tentang proses khitbah serta beberapa hal yang terkait di
dalamnya, semoga dapat memberikan pencerahan dan motivasi kepada sahabat-sahabat
untuk segera merealisasikan keinginan yang selama ini telah menggebu-deru,
namun masih terpendam dalam seolah enggan untuk nampak kepermukaan karena
terkekang oleh perasaan malu-malu dan unselfconffident. Padahal, sesungguhnya
ia merupakan sesuatu yang wajar dan boleh kita lakukan dengan disertai adanya
kesiapan untuk memikul apapun resikonya.
Related Article:
0 comments:
Posting Komentar