Ulama adalah pewaris para nabi. Apa yang diwariskan oleh para nabi tentu tidak akan digadaikan dengan apapun, meski dengan seluruh isi bumi dan langit ini. Tentu karena para ulama adalah orang-orang yang memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Atas dasar iman dan ilmunya, ulama akan senantiasa berjuang membimbing umat untuk senantiasa hanya menghamba kepada Allah SWT secara total. Penghambaan secara total itu harus dibuktikan dengan cara menjalani dan menata hidup ini sesuai dan tuntunan (baca: syariah Islam) yang dibawa oleh Rasulullah saw., baik dalam kehidupan politik maupun spiritual, seraya berharap keridhaan Allah SWT sebagai tujuan paling puncak.
Karenanya, ulama harus menjadi penyambung lidah umat di hadapan para penguasa. Ulama harus menjadi pembimbing mereka menuju kepemimpinan yang mulia dengan Islam. Sebab, mereka semua adalah hamba-hamba Allah SWT yang juga merindukan surga.
Namun demikian, fungsi ulama akan pudar dan tertutup dengan sikap dukung-mendukung calon pemimpin tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara syar’i. Selain itu, dukungan ulama sejatinya hanya diberikan kepada mereka yang mau menegakkan akidah dan syariah Islam secara kâffah, bukan kepada mereka yang akan melanggengkan sekularisme yang nyata-nyata selalu menjadi ancaman bagi keselamatan agama dan menjadi pintu masuk bagi bercokolnya neoliberalisme.
Di sisi lain, para pemimpin atau calon pemimpin harus dekat dengan ulama semata-mata demi meminta bimbingan menuju ridha Allah SWT, dan bukan demi ‘membeli’ ulama sekadar untuk meraih atau melanggengkan kekuasaan.
Umat hari ini merindukan sosok ulama yang ikhlas berjuang dengan pengorbanan maksimal agar bisa mengeluarkan mereka dari kegelapan jahiliah modern, derita dan nestapa dalam kerangkeng sistem sekular-liberal; menuju cahaya Islam dalam wujud masyarakat dan negara yang bersyariah, yang berjalan di atas hidayah Islam. Itulah masyarakat dan negara yang pernah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw. dan dilanjutkan oleh para khalifah beliau
Ulama yang hanya mementingkan kepentingan individu dan mengambil jarak dengan masyarakat oleh Imam Al-Ghazali disebut sebagai ulama su’ (ulama yang buruk). Al-Ghazali membagi ulama ke dalam dua kategori: ulama su’ dan ulama akhirat. Yang pertama adalah ulama yang hanya disibukkan dengan mencari kekayaan dan kekuasaan. Sebagai antitesisnya adalah ulama akhirat yang memiliki sifat dan karakteristik sebaliknya. (Abu Hamid Al-Gazali, Ihya Ulumuddin, juz I hal 80)
Ulama su’ menganggap kekuasaan dan kekayaan sebagai tujuan. Berbeda dengan ulama akhirat yang menjadikan keduanya sebagai “musuh” yang harus dilawan. Dengan berpaling dari kekuasaan dan kekayaan, seorang ulama akan betul-betul merasakan penderitaan, kemiskinan, ketertindasan sebagaimana yang dialami oleh mereka yang tertindas, (di)miskin(kan), dan (di)lemah(kan), mustad’afin.
Secara bahasa “ulama” merupakan bentuk jamak (plural) dari ‘alim yang berarti “orang yang berpengetahuan, ahli ilmu, atau ilmuan. Dalam Al-Qur’an, kata “ulama” disebut sebanyak dua kali, yakni QS Al-Syu’ara (26): 197 dan QS Fathir (35): 28. Nabi Muhammad SAW pernah berujar bahwa “ulama adalah pewaris para Nabi” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi). Ulama juga disebut-sebut sebagai “pemegang amanat Allah atas makhluk-Nya” (HR. Al-Qudla’i dan Ibnu ‘Asakir), dan “pemimpin panutan ummat” (HR. Ibnu Hajar).
Ini menunjukkan betapa mulia kedudukan ulama sampai Nabi SAW sendiri memposisikan mereka menggantikan peran dan fungsi nabi-nabi. Apa sebetulnya peran dan fungsi nabi? Sejarah para nabi adalah sejarah pembebasan, perjuangan dan pergulatan melawan ketidakadilan, merubah tatanan sosial-budaya yang korup, selalu berpihak pada golongan lemah, dan berorientasi pada transformasi sosial yang berkeadilan, egalitarian, kemaslahatan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Kita bisa berkaca pada sejarah Nabi Ibrahim yang membebaskan umatnya dari “berhala-berhala” yang merenggut kebebasan manusia (QS Ibrahim [14]: 35). Berhala adalah simbol dari keterbelengguan manusia terhadap “idola-idola”. Idola, sebagaimana yang dikatakan Sir Francis Bacon, adalah semacam rintangan yang menghalangi kemajuan manusia. Idola adalah unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti berhala. Idola bisa merasuki pikiran kita sehingga kita enggan menggunakan kemampuan berpikir kritis. Misi Nabi Ibrahim pada waktu itu adalah membebaskan umatnya dari idola-idola yang dapat menghalangi mereka dalam membaca realitas objektif dengan jernih dan kritis.
Begitu juga dengan Nabi Musa yang berani melawan dan menantang Firaun, penguasa tiranik dan despotis (taghut, QS Thaha [20]: 24), yang merampok hak-hak, martabat dan kebebasan rakyat (QS Al-Baqarah [02]: 49)। Atau Nabi Isa yang menebarkan kasih sayang dan melakukan pembebasan bagi umat manusia. Di samping itu, kita juga bisa menengok pada sejarah Nabi Muhammad SAW yang konsisten melawan ketidakadilan sistem sosial-budaya masyarakat Arab waktu itu. Ini adalah sebagian dari sunnah para Nabi. Teladan dan perjuangan seperti ini yang sepatutnya dilakukan para ulama selaku pewaris para nabi.
beberapa Kemandulan ulama terjadi karena mereka tidak lagi memainkan peran dan fungsinya di masyarakat. Mereka tidak lagi melakukan dakwah sebagaimana yang dipraktikkan oleh nabi-nabi. Justru yang kita saksikan saat ini, dakwah dijadikan sebagai sarana untuk meraih keuntungan materi. Dakwah bukan lagi sebuah panggilan agama atau dorongan kewajiban dan tanggung jawab seorang da’i. Sehingga yang terjadi adalah “politisasi dakwah”. Model ulama seperti ini yang disinggung Al-Qur’an sebagai “orang yang telah menjual ayat-ayat Tuhan (kitab suci) dengan harga yang sangat murah”. (QS Al-Baqarah (2): 174)
Karena itu, ulama harus memiliki sejumlah sifat dan karakter khas, antara lain: Pertama, senantiasa berzikir kepada Allah dalam semua keadaan. Allah SWT berfirman:
Mereka adalah orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadan berbaring (QS Ali Imran [3]: 191).
Kedua, menjauhi penghambaan kepada thâghût. Allah SWT berfirman:
Mereka adalah orang-orang yang menjauhi thâghût, yaitu tidak menghambakan diri kepadanya (QS az-Zumar [39]: 17).
Ketiga, senantiasa bertobat (kembali) kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:
Mereka senantiasa kembali kepada Allah (QS az-Zumar [39]: 17).
Keempat, selalu menghubungkan apa saja yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan seperti silaturahmi, loyal kepada sesama Mukmin, mengimani semua nabi dan menjaga semua hak manusia. Allah SWT berfirman:
Mereka adalah orang-orang yang senantiasa menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan untuk dihubungkan (QS ar-Ra’d [13]: 21).
Seorang ulama pasti lebih suka berdekatan dengan seorang Muslim yang taat daripada dengan mereka yang selalu memusuhi umat Islam. Ulama pun akan menjadi perekat umat, pionir ukhuwah islamiyah, dan tidak mungkin menjadi pemecah-belah umat.
Kelima, memiliki rasa takut kepada Allah dan keagungan-Nya, sebagaimana firman-Nya:
Mereka selalu takut kepada Tuhannya (QS ar-Ra’d [13]: 21).
Ulama hakiki akan memiliki rasa takut yang luar biasa kepada Allah. Dia akan lebih mudah menangis daripada tertawa terbahak-bahak. Tampak keanggunan dan kewibawaannya karena kekhusyukan yang memancar dalam dirinya.
Keenam, takut terhadap keburukan Hari Penghisaban, sebagaimana firman-Nya:
Mereka senantiasa takut pada hisab yang buruk (QS ar-Ra’d [13]: 21).
Rasa takut ini tercermin dalam ucapan dan semua perbuatannya untuk selalu menjauhi semua larangan Allah.
Ketujuh, memiliki kesabaran dalam menghadapi semua beban, kesulitan dan musibah di dunia serta senantiasa menentang kehendak hawa nafsu. Allah SWT berfirman:
Mereka adalah orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya (QS ar-Ra’d [13]: 22).
Semua perintah Allah adalah kewajiban dan beban yang harus dilaksanakan dengan penuh kesabaran. Demikian juga dengan musibah.
Dengan demikian seseorang dikatakan ulama tidaklah dilihat dari wajahnya, pakaiannya, gelarnya, julukannya, ataupun turunannya, melainkan dari ilmu dan karakter-karakter tadi. Boleh jadi seseorang tidak digelari ulama, sebenarnya dia ulama. Begitu pula, seseorang yang disebut ulama sangat mungkin di sisi Allah SWT bukanlah ulama.
Sebagaimana dimaklumi, kewajiban terbesar umat Islam hari ini adalah mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah masyarakat dengan menegakkan seluruh syariah Allah SWT. Sebaliknya, kemungkaran terbesar yang wajib ditumbangkan saat ini adalah sistem thâghût yang menerapkan hukum-hukum kufur buat manusia. Itulah sistem sekular yang tengah berlangsung saat ini.
Karena itu, saat ini umat benar-benar membutuhkan ’ulama akhirat’ yang bisa membimbing mereka untuk kembali pada Islam secara kâffah sambil terus-menerus memberikan dorongan dan dukungan terhadap perjuangan ke arah penegakkan syariah Islam. Umat membutuhkan ulama yang meneladani perjuangan Rasulullah saw. dalam mewujudkan masyarakat islami, yang menerapkan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan, dalam Daulah Khilafah. Hanya dengan itulah cita-cita umat mewujudkan baldat[un] thayyibat[un] warabb[un] ghafûr akan benar-benar terwujud, insya Allah.
Rasulullah saw bersabda, “Manusia yang paling berat azabnya pada hari kiamat adalah orang yang berilmu tapi tidak mengamalkannya karena Allah.”
Dalam hadits lain beliau bersabda, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya, namun tidak bertambah benar jalannya, maka ia semakin jauh dari Allah.”
Ketahuilah bahwa seorang ulama yang menekuni suatu ilmu, baginya ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah binasa, dan kemungkinan kedua adalah memperoleh kebahagiaan yang kekal.
Khalid bin Ahmad berkata: Manusia terbagi pada empat macam:
1. Orang yang tahu, dan ia tahu bahwa ia mengetahui. Itulah orang yang berilmu, maka ikutilah ia.
2. orang yang tahu, tapi ia tidak tahu bahwa ia mengetahui. Itulah orang yang tertidur, maka bangunkanlah ia.
3. orang yang tidak tahu, tetapi ia tahu bahwa ia tidak mengetahui. Itulah orang yang memerlukan bimbingan, maka ajarilah ia.
4. orang yang tidak tahu, namun ia tidak tahu bahwa ia tidak mengetahui. Itulah orang bodoh. Waspadalah terhadapnya.
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Ilmu itu mengajak (pemiliknya) untuk mengamalkannya, jika ia mangiyakan, maka ilmunya bermanfaat. Namun jika tidak diamalkan, maka ilmunya akan pergi. Allah berfirman, “Dan bacalah kepada mereka berita yang Telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al-Qur’an), kemudian ia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu ..” (QS. Al-A’raf: [7]: 175)
Allah berkata kepada Nabi Dawud, “Serendah-rendahnya perilaku orang alim adalah jika ia lebih menyenangi syahwatnya daripada mencintai-Ku. Aku haramkan ia merasakan nikmatnya bermunajat kepada-Ku. Wahai Dawud, jangan bertanya kepada-Ku tentang orang alim yang telah dimabukkan oleh dunia sehingga ia memalingkanmu dari jalan untuk mencintai-Ku. Mereka adalah para penyamun hamba-hamba-Ku. Wahai Dawud, jika engkau melihat seorang penuntut ilmu karena diri-Ku, maka jadikanlah engkau sebagai pelayan baginya. Wahai Dawud, barangsiapa yang kembali kepada-Ku dalam kondisi menjadi pelayan bagi penuntut ilmu, maka Aku tetapkan ia sebagai mujahid. Dan barangsiapa yang sudah Aku tetapkan sebagai mujahid, maka Aku tidak akan pernah mengazabnya.”
Oleh karena itu, ulama saatnya menjadi garda terdepan dalam pencerdasan umat dan perjuangan menegakkan syariah dan khilafah, bukan lagi sekadar penjaga moral dan ritual belaka. Paham sekulerisme di dunia Islam, termasuk di Indonesia saat ini telah menjadikan banyak ulama terjebak pada virus-virus sekulerisme sehingga me-misahkan ulama dari peran politik atau mereka berpolitik tapi terjerumus dalam sistem politik demokrasi yang kufur.
Ulama saat ini sebenarnya justru dipojokkan ketika kedudukan atau posisinya hanya sekadar membaca doa, menutup acara, sekadar penasihat spiritual atau penjaga moral. Ulama juga bukan sekadar lambang, apalagi menjadi bagian dari sistem penguasa untuk memberikan pembenaran, apalagi ulama dijadikan alat untuk mendulang suara saat pemilu. Boleh jadi ada yang tidak sadar, namun alhamdulillah saat ini telah banyak ulama telah menyadari fungsi dan peranannya
Paham sekulerisme dan liberalisme telah menjadikan umat Islam laksana buih di lautan, diombang ambingkan atau dipermainkan oleh kepentingan politik Kapitalisme. Sekulerisme di dunia Islam terjadi karena ada proses panjang pembodohan secara sistematis melalui penjajahan gaya lama maupun penjajahan gaya baru. Dahulu, umat Islam dibodoh-bodohi oleh para penjajah sehingga ada pula ulama menjadi alat atau menjadi kaki tangan Belanda. Namun perlu dicatat pula, di negeri ini sangat banyak ulama pejuang seperti Pangeran Diponegoro, Cik Ditiro, Imam Bonjol, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin dan lain-lain. Indonesia lepas dari penjajahan asing dahulu karena darah para pejuang termasuk para ulama. Mereka adalah para ulama pe-juang penegak syariah yang kadang dilupakan, bahkan ada upaya secara sistematis seolah-olah menghilangkan kontribusi umat Islam dalam perjalanan bangsa kita. Kini banyak umat Islam bahkan ulama yang secara sadar atau tidak sadar masuk dalam perangkap sekulerisme dan liberalisme dengan format penjajahan gaya baru yang dilan-carkan Barat dan antek-anteknya.
Ulama adalah pewaris para Nabi. Dalam Alquran disebutkan bahwa para Nabi adalah pengemban risalah, pembawa pesan dan amanat Allah kepada para manu-sia. Dengan demikian ulama memiliki posisi yang sangat penting dan strategis dalam mengemban dakwah Islam untuk terwujudnya kemuliaan Islam sertas mewujudkan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin. Para Ulama harus menyampaikan Islam secara utuh atau secara kaffah, tidak hanya aspek spiritual belaka. Islam adalah sistem paripurna yang mencakup aspek spiritual juga aspek politik, tidak ada pemisahan agama dan kehidupan. Ulama su' adalah ulama yang tidak mau menyampaikan kebenaran Islam secara kaffah atau menyembunyikan kebenaran karena ada faktor lain, seperti untuk menarik du-kungan dan kekuasaan. Mereka disebut ulama karena bajunya seperti ulama namun disebut Su' (buruk) karena hati, perbuatan, maupun ajakan tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Ulama dituntut makin menguatkan fungsi dan perannya dalam perjuangan penegakan syariah dan khilafah. Karena berbagai problematika umat Islam dan dunia saat ini disebabkan tidak adanya kehidupan Islam atau karena tidak diterapkannya syariah secara kaffah di bawah pimpinan seorang Khalifah. Perjuangan ini harus bertumpu pada akidah dan syariah dengan mengikuti metode kenabian atau “ala Minhajun Nubuwwah” seperti yang dicontohkan Rasulullah. Saatnya ulama bersatu padu mendukung perjuangan menegakkan syariah dan khilafah
Allah SWT berfirman (yang artinya): Sesungguhnya yang takut kepada Allah di kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (QS Fathir: 28).
Ayat ini secara kasatmata menyebutkan bahwa yang menjadikan sebutan ulama begitu istimewa dibandingkan dengan hamba-hamba Allah yang lain adalah rasa takut mereka kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah SWT itulah yang menjadi sifat para ulama yang paling menonjol. Karena itulah, Nabi menyebut ulama sebagai pewaris para nabi (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan kriteria ulama pewaris para nabi ini. Menurut beliau mereka adalah hamba Allah yang beriman, menguasai ilmu syariah secara mendalam dan memiliki pengabdian yang tinggi semata-mata karena mencari keridhaan Allah SWT; bukan keridhaan manusia. Dengan ilmunya, mereka mengembangkan dan menyebarkan agama yang haq, baik dalam masalah ibadah maupun muamalah. Menurut beliau, beberapa ciri-ciri ulama pewaris nabi antara lain: (a) Memiliki keimanan yang kokoh, ketakwaan yang tinggi, berjiwa istiqamah dan konsisten terhadap kebenaran; (b) Memiliki sifat-sifat kerasulan: jujur (shiddiq), amanat (amanah), cerdas (fathanah) dan menyampaikan (tablig); (c) Faqih fi ad-Din sampai rasikhun fi al-Ilm'; (d) Mengenal situasi dan kondisi masyarakat; (5) Mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Allah SWT.
Mereka tabah dan sabar menghadapi segala macam tantangan dan halangan demi memperjuangkan Islam dan umatnya; bukan demi membela kepentingan pribadi, pimpinan, atau kelompoknya. Mereka selalu menegakkan kewajiban dan mencegah kemungkaran. Mereka tidak menyembunyikan apalagi memutarbalikkan syariah Islam.
Ulama tidak mendiamkan, tidak menyetujui dan tidak mendukung kezaliman dan siapapun yang berbuat zalim. Tegas sekali Allah SWT berfirman (yang artinya): Janganlah kalian cenderung (la tarkanû) kepada orang-orang yang berbuat zalim, yang dapat mengakibatkan kalian disentuh api neraka (QS Hud [11] : 113).
Ibnu Juraij menyatakan bahwa kata “la tarkanu” berarti jangan cenderung kepadanya. Qatadah menyebutkan, jangan bermesraan dan jangan menaatinya. Abu Aliyah menerangkan bahwa kata itu berarti jangan meridhai perbuatan-perbuatannya.
Ulama hanya takut kepada Allah. Sebaliknya, mereka tidak pernah takut kepada selain-Nya, meski dia adalah seorang penguasa dunia. Bahkan mereka senantiasa berada di garis depan menentang setiap kezaliman yang dilakukan para penguasa. Hasan al-Bashri adalah salah seorang di antara para ulama yang begitu besar rasa takutnya kepada Allah. Seba-liknya, ia tak pernah gentar terhadap penguasa dunia yang lalim. Beliau berani menentang penguasa Hijaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, penguasa Irak yang lalim pada zamannya. Ia berani mengungkap keburukan perilaku penguasa tersebut di hadapan rakyat dan menyampaikan kebenaran di hadapannya. Beliau sangat terkenal dengan ucapannya, "Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari para pemilik ilmu untuk menjelaskan ilmu yang dimilikinya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya." Karena keberaniannya itulah beliau harus menanggung penderitaan.
Demikian pula Sufyan ats-Tsauri. Rasa takutnya kepada Allah begitu besar. Sebaliknya, keberaniannya terhadap penguasa lalim pun tak diragukan. Ia pernah menentang apa yang dilakukan penguasa Abu Ja'far al-Manshur ketika dia mendanai dirinya dan para pengikutnya yang beribadah haji ke Baitul-Haram dalam jumlah yang sangat besar, yang diambil dari Baitul Mal milik kaum Muslim. Dengan sikapnya ini, hampir saja polisi al-Manshur membunuh Sufyan.
Abu Hanifah pernah menolak jabatan yang ditawarkan Abu Ja'far al-Manshur dan menolak uang 10 ribu dirham yang akan diberikan kepadanya. Kemudian ia ditanya oleh seseorang, “Apa yang Anda berikan kepada keluarga Anda, padahal Anda telah berkeluarga.” Beliau menjawab, ”Keluargaku kuserahkan kepada Allah. Sebulan aku cukup hidup dengan 2 dirham saja.”
Dalam riwayat lain disebutkan, suatu ketika Khalifah Muawiyah hendak memulai pidatonya. Saat itu Abu Muslim al-Khaulani segera berdiri dan berkata bahwa ia tidak mau mendengar dan menaati Khalifah. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab, “Karena engkau telah berani memutuskan bantuan kepada kaum Muslim. Padahal harta itu bukan hasil keringatmu dan bukan harta ayah-ibumu.”
Mendengar itu Khalifah Muawiyah sangat marah. Ia lalu turun dari mimbar, pergi dan sejenak kembali dengan wajah yang basah. Ia membenarkan apa yang dikatakan Abu Muslim dan mempersilakan siapa saja yang merasa dirugikan boleh mengambil bantuan dari Baitul Mal (Al-Badri, Al-Islâm bayna al-Ulamâ' wa al-Hukkâm, hlm. 101).
Secuil kisah di atas hanyalah meng-gambarkan sedikit contoh ulama-ulama akhirat. Mereka adalah ulama yang selalu menjadikan akhirat sebagai tujuan, sementara dunia hanya mereka jadikan sebagai 'kuda tunggangan'; bukan sebaliknya
Larangan cenderung tersebut ditujukan pada orang-orang mukmin agar tidak berpihak kepada orang-orang yang melakukan tindak kezhaliman. Allah SWT melarang kecenderungan kepada mereka karena dalam keberpihakan tersebut terkandung pengakuan atas kekufuran, kezhaliman, dan kefasikan mereka. Pengakuan ini dipandang sebagai peran serta dalam dosa dan siksa.
Imam Az Zamakhsyari dalam Tafsir Al Kasysyaf Juz II/ 416 mengutip beberapa pendapat berkaitan dengan hal ini. Dinyatakannya bahwa Imam Sufyan Ats Tsauri berkata : “Di neraka jahanam nanti ada suatu lembah yang tak dihuni oleh orang kecuali para pembaca Al Quran yang suka berkunjung kepada penguasa”.
Senada dengan hal itu, Imam Auza’i mengatakan, “Termasuk yang dibenci oleh Allah adalah ulama yang suka berkunjung kepada penguasa”. Bahkan, Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Siapa yang berdoa untuk orang zhalim agar tetap berkuasa, maka dia telah menyukai orang itu bermaksiat kepada Allah di bumi-Nya.”
Dalam tafsir yang sama, disebutkan bahwa Imam Az Zuhri bergaul dengan para penguasa yang terkenal tidak memenuhi hak-hak masyarakat serta tidak meninggalkan kebathilan. Terdapatlah seseorang yang mengiriminya surat nasihat agar menjauhi fitnah. Dalam suratnya itu antara lain dia menyebut bahwa tindakan bergaul rapat dengan penguasa yang zhalim itu akan menimbulkan konsekuensi berupa dijadikannya perkara tersebut sebagai legitimasi beredarnya kebathilan yang mereka lakukan, pengakuan atas bencana yang mereka timbulkan, dan sebagai pembenaran atas kesesatan mereka. Juga, akan menimbulkan keraguan para ulama serta menjadi ikutan masyarakat awam. Orang itu lantas menutup suratnya dengan kalimat “Betapa banyak keuntungan yang mereka ambil dari Anda disamping kerusakan yang mereka timbulkan kepada Anda”.
Sementara itu, kezhaliman penguasa muslim itu ditunjukkan oleh perbuatannya yang tidak menerapkan aturan Islam. Di dalam Al Quran Allah SWT mewahyukan :
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang zhalim” (QS. Al Maidah [5] : 45).
Ayat di atas ditujukan kepada manusia secara umum, termasuk juga kepada umat Islam. Seorang penguasa muslim yang tidak memerintah dengan apa yang diturunkan Allah SWT, yakni tidak menerapkan hukum-hukum Islam seluruhnya, atau menerapkan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya, disebut oleh Allah SWT dalam ayat tadi sebagai zhalim apabila masih meyakini kelayakan Islam untuk diterapkan (Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 228).
Berdasarkan hal ini, seorang mukmin —terlebih-lebih lagi ulama— tidak akan mendukung kezhaliman tersebut. Sebab, mereka takut kepada Allah SWT yang akan membakarkan api neraka pada orang yang berbuat demikian seperti firman-Nya dalam surat Hud [11] ayat 113
Hancurnya Penguasa dan Ulama Penyebab Hancurnya Umat
Rasulullah SAW bersabda :
“Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik maka akan baiklah masyarakat. Tetapi, apabila keduanya rusak maka akan rusaklah masyarakat itu. Kedua golongan manusia itu adalah ulama dan penguasa” (HR. Abu Na’im).
Dalam hadits di atas Rasulullah SAW memberitahu kepada umatnya bahwa penguasa itu ada yang baik ada pula yang buruk. Begitu pula ulama itu ada yang baik dan ada yang buruk (ulama su`). Lebih tegas lagi Nabi SAW menyatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi :
“Akan datang penguasa-penguasa fasik dan zhalim. Barangsiapa percaya kepada kebohongannya dan membantu kezhalimannya maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dri golongannya, dan dia tidak akan masuk sorga.”
Berkaitan dengan hal ini Imam Al Ghazali (Ihya ‘Ulumiddin, juz 7, hal. 92) menyatakan :
“Dulu tradisi para ulama mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka mengikhlaskan niat dan pernyataannya membekas di hati. Namun sekarang, terdapat penguasa yang tamak namun ulama hanya diam. Andaikan mereka berbicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapa saja yang digenggam oleh cinta dunia niscaya tidak mampu menguasai ‘kerikilnya’, bagaimana lagi dapat mengingatkan penguasa dan para pembesar.” Bila kondisi sebagian ulama pada jaman Imam Al Ghazali demikian, tidaklah mengherankan bila dewasa ini kondisinya lebih parah, terlebih-lebih sejak hancurnya Khilafah Islamiyyah tahun 1342 H (1924 M).
Related Article:
0 comments:
Posting Komentar