Di dalam al-Qur`an Surat al-Buruuj terdapat sekilas kisah tentang Ashhaabul Ukhduud (para penghuni parit). Ada kisah menarik dan tentu saja pelajaran yang indah tentang kisah ini.
Siapakah Ashhaabul Ukhduud itu? Bagaimana kisah mereka sedemikian dahsyatnya hingga Allah mengabadikannya dalam al-Qur`an? Ya, tentu Allah telah menyiapkan banyak ibrah (pelajaran berharga) untuk kita, manusia yang hidup di abad ke-21 M ini, yang sering tertimpa ujian sehingga perlu sering-sering mendapat nasehat dari kisah-kisah orang terdahulu.
* * *
Kisah ini terjadi pada rakyat Najran pengikut Risalah Nabi Isa as saat di bawah kekuasaan Dzu Nuwas Raja Yahudi penguasa Yaman.
Najran adalah salah satu wilayah di Jazirah Arab bagian selatan. Awalnya penduduk Najran adalah para penyembah berhala. Agama Nabi Isa masuk ke Najran dibawa oleh seorang bernama Faimiyun.
Faimiyun berasal dari wilayah Syam. Dia termasuk sisa-sisa pemeluk agama Nabi Isa yang masih memegang teguh kitab Injil. Faimiyun adalah orang yang shalih, rajin, zuhud terhadap dunia, dan doanya mustajab. Ia keluar dari kampung yang satu ke kampung yang lain. Ia tidak makan kecuali dari hasil kerjanya sendiri. Ia sangat menghormati hari Ahad. Jika hari Ahad tiba ia tidak melakukan aktifitas apa pun dan pergi ke tempat yang sepi. Di sana ia shalat hingga petang hari.
Nasib akhirnya membawa Faimiyun ke Najran.
* * *
Ketika itu Raja Dzu Nuwas raja Yahudi penguasa Yaman mempunyai seorang ahli sihir yang tinggal di salah satu desa di Najran.
Saat ahli sihir itu beranjak tua, ia berkata kepada raja, “Aku bertambah tua. Kirimkanlah beberapa pemuda kepadaku agar aku bisa mengajari mereka sihir.”
Maka dikirimlah pemuda-pemuda kepada ahli sihir itu guna belajar sihir. Salah satunya adalah Abdullah bin ats-Tsamir yang berasal dari Desa Najran.
Adapun Faimiyun, pendeta itu membangun kemah antara Desa Najran dengan desa tempat tinggal ahli sihir.
Dalam perjalanannya untuk menemui ahli sihir itu, salah seorang pemuda yang bernama, Abdullah bin ats-Tsamir menjumpai Faimiyun. Ia mendengarkan pendeta itu bicara dan terkesan pada kata-katanya dan memutuskan mengikuti risalah Nabi Isa, mentauhidkan Allah, dan beribadah kepada Allah.
Karena singgah di tempat Faimiyun, Abdullah sering terlambat sampai di tempat ahli sihir. Ia pun dihukum oleh ahli sihir. Begitu juga ketika pulang, karena singgah di tempat Faimiyun. Ats-Tsamir, sang ayah, pun menghukumnya. Abdullah bin ats-Tsamir lalu mengadukan perkara tersebut kepada Faimiyun.
Faimiyun berkata, “Apabila engkau merasa takut kepada ahli sihir, katakanlah bahwa keluargamu telah menahanmu dan apabila engkau takut pada keluargamu, katakanlah bahwa ahli sihir itu telah menahanmu.”
Hal itu terus berlangsung beberapa waktu hingga suatu hari muncul seekor hewan buas pemangsa yang menghalangi jalan yang biasa dilalui orang-orang.
Pemuda itu lalu berkata, “Hari ini aku akan melihat apakah si ahli sihir lebih hebat dari si pendeta, atau sebaliknya.”
Lalu ia mengambil sebuah batu dan berkata, “Ya Allah! Apabila ajaran pendeta itu lebih dekat kepada-Mu daripada si ahli sihir, berikanlah kematian pada makhluk ini agar orang-orang dapat melalui jalan itu dengan bebas.”
Lalu ia melemparkan batu di tangannya pada pemangsa buas itu dan hewan itu pun mati. Orang-orang pun dapat melalui jalan itu dengan aman.
Kemudian Abdullah menemui Faimiyun dan menceritakan pengalamannya.
Faimiyun itu lalu berkata, “Nak, hari ini engkau mengungguliku. Pekerjaanmu sudah sampai pada tahap di mana kuperkirakan bahwa engkau akan segera mendapat ujian. Dan jika engkau telah mengalami ujian itu, maka jangan beri informasi tentang diriku.”
Sejak Abdullah bin ats-Tsamir membuktikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa ilmu tauhid lebih unggul dibanding ilmu sihir, maka jika ia bertemu orang yang sakit di Desa Najran, ia selalu berkata, “Hai Hamba Allah, maukah engkau mentauhidkan Allah, dan masuk kepada agamaku, kemudian aku berdoa kepada Allah mudah-mudahan Dia menyembuhkanmu dari penyakit yang menimpamu ini?”
Orang yang sakit itu berkata, “Ya, aku mau.”
Orang itu bersedia mentauhidkan Allah dan mengikuti risalah Nabi Isa as, kemudian Abdullah mendoakannya lalu ia sembuh dari penyakitnya.
Inilah yang selalu dikerjakan Abdullah bin Ats-Tsamir hingga semua orang yang sakit dikunjunginya, bersedia mengikuti tawarannya, dan ia mendoakan kesembuhan untuknya.
Saat salah seorang kerabat raja yang menjadi buta mendengar tentang perihal Abdullah, ia lalu mengundang Abdullah dan berkata kepadanya, “Apabila engkau menyembuhkanku, segala yang terkumpul di sini boleh engkau miliki.”
Abdullah itu berkata, “Sesungguhnya aku tidak mampu menyembuhkan siapa pun. Allah-lah yang menyembuhkan. Dan jika engkau beriman kepada-Nya, aku dapat memohon kepada-Nya agar menyembuhkanmu.”
Kerabat raja itu menyatakan keimanannya kepada Allah dan Allah pun menyembuhkannya.
Lalu ia datang kepada raja dan duduk di samping raja.
Raja bertanya kepadanya, “Siapa yang mengembalikan penglihatanmu?”
Ia menjawab, “Rajaku.”
Raja itu terkejut karena itu berarti bahwa ia memiliki raja selain dirinya.
Ia melanjutkan, “Rajamu dan rajaku adalah Allah.”
Raja itu pun menahan dan menyiksanya hingga ia bercerita tentang si pemuda.
Abdullah pun dihadapkan kepada raja.
Raja berkata kepadanya, “Hai anak muda! Aku menerima kabar bahwa ilmu sihirmu sudah bertambah maju sehingga engkau mampu menyembuhkan orang buta dan kusta dan engkau bisa melakukan ini-itu.”
Abdullah menjawab, “Aku tidak menyembuhkan siapapun, Allah-lah yang menyembuhkan.”
Raja lalu menangkap dan menyiksanya. Abdullah pun terpaksa bercerita tentang sang pendeta. Maka sang pendeta dihadapkan kepada raja.
Raja berkata kepada sang pendeta, “Berpalinglah dari agamamu!”
Namun pendeta itu menolak. Lalu raja itu memerintahkan agar dibawakan sebuah gergaji yang kemudian diletakannya di antara kepalanya. Bagian-bagian tubuhnya kemudian dipotong hingga berjatuhan.
Kemudian sang kerabat raja dihadapkan, dan raja berkata kepadanya, “Berpalinglah dari agamamu!”
Namun kerabat raja itu menolak. Maka bagian-bagian tubuhnya juga dipotong hingga berjatuhan.
Setelah itu , Abdullah dihadapkan dan raja berkata kepadanya, “Berpalinglah dari agamamu!”
Namun Abdullah menolak. Raja lalu menyerahkannya pada sekelompok polisi istana.
Raja berkata, “Bawa dia ke gunung anu. Suruhlah ia mendaki gunung dan jika ia sampai di puncak, tanyakan apakah ia mau menukar keyakinannya. Jika ia menolak, lemparkan ia ke jurang.”
Maka pemuda itu dibawa dan dipaksa mendaki gunung.
Abdullah berdo’a, “AllaaHumma ikfiniHim bimaa syi`ta.” [Ya Allah, selesaikanlah urusanku ini dengan mereka sekehendak-Mu].
Allah mengabulkan doanya dan gunung itu pun bergoyang karena gempa sehingga sekelompok polisi itu berjatuhan, dan mati.
Abdullah pun kembali menghadap raja.
Raja bertanya, “Apa yang terjadi pada para polisiku?”
Abdullah berkata, “Allah yang menyelesaikan mereka.”
Maka Raja Dzu Nuwas kembali menyerahkan Abdullah kepada sekelompok polisi istana dan berkata, “Bawa ia menumpang sebuah perahu dan jika kalian berada di tengah lautan, tanyakan padanya apakah ia mau menukar keyakinannya. Jika ia menolak, tenggelamkan ia ke lautan.”
Maka mereka membawa Abdullah ke tengah lautan.
Abdullah berdoa, “AllaaHumma ikfiniHim bimaa syi`ta.” [Ya Allah, selesaikanlah urusanku ini dengan mereka sekehendak-Mu].
Tiba-tiba, perahu itu terbalik dan mereka semua tenggelam.
Abdullah pun kembali menghadap raja.
Raja bertanya, “Apa yang terjadi pada para polisiku?”
Abdullah berkata “Allah yang menyelesaikan mereka.”
Kemudian pemuda itu melanjutkan kata-katanya, “Engkau tidak akan mampu membunuhku kecuali jika engkau lakukan apa yang aku katakan kepadamu.”
Raja bertanya, “Apa itu?”
Pemuda itu berkata, “Kumpulkanlah orang-orang di suatu tempat dan gantunglah aku di sebuah pohon. Lalu tahanlah sebilah anak panah pada busurnya dan katakan ”Bismillaaahi rabbil ghulaam” [Dengan nama Allah, Tuhan pemuda ini]. Lalu lepaskan anak panah itu. Jika engkau lakukan hal itu, maka engkau dapat membunuhku.”
Maka Raja Dzu Nuwas pun segera mengumpulkan orang-orang di sebuah tanah lapang dan menggantung tubuh pemuda itu di sebuah pohon. Ia memasang sebilah anak panahnya dan menahannya di busur, kemudian berkata, “Dengan menyebut nama Allah, tuhan pemuda itu.”
Segera ia melepas anak panah dari busurnya dan anak panah itu mengenai pelipis si pemuda. Pemuda itu lalu memegang pelipis di mana anak panah itu tertancap dan ia pun wafat.
Tiba-tiba orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu berseru, “Aamannaa birabbil ghulaam!” [Kami beriman pada Tuhan pemuda itu!].
Para pejabat kerajaan datang kepada raja dan berkata, “Tidakkah engkau lihat bahwa Allah telah menjadikan sesuatu yang hendak engkau hindari? Mereka (rakyatmu) telah menyatakan keimanannya kepada Allah.”
Menghadapi rakyat Najran yang beriman kepada Allah dan mengikuti Risalah Nabi Isa as, Raja Dzu Nuwas yang Yahudi itu memaksa mereka masuk ke agama Yahudi. Ia menyuruh mereka memilih salah satu dari dua hal: masuk Yahudi atau dibunuh!
Raja Dzu Nuwas memerintahkan pasukannya agar menggali parit-parit di beberapa tempat. Setelah parit-parit itu selesai digali, maka dinyalakanlah api di dalam parit-parit itu.
Kemudian raja berkata kepada rakyatnya, “Siapa saja yang tidak mau berpaling dari agama pemuda itu akan dilemparkan ke dalam api atau ia melompat sendiri ke dalamnya.”
Maka berjejal-jejallah orang-orang yang tidak mau menukar keimanannya, lalu melompat sendiri ke dalam parit. Hingga datang seorang perempuan datang bersama bayinya yang masih menetek. Ketika bayinya diangkat oleh algojo, hampir-hampir saja sang ibu mengganti agamanya karena sangat belas kasihan kepada bayinya. Namun tiba-tiba bayi itu berbicara dengan suara lantang, “Sabarlah hai ibuku! Karena engkau sedang mempertahankan kebenaran!”
* * *
Jumlah orang-orang Najran yang terbunuh dalam peristiwa itu kira-kira 20.000 jiwa, termasuk pemimpin dan tokoh-tokoh rakyat Najran.
Tentang Dzu Nuwas dan pasukannya ini Allah SWT menurunkan wahyu-Nya kepada Rasulullah Muhammad saw:
Qutilal ashhaabul ukhduud. [Binasa dan terlaknatlah (ashhaabul Ukhduud) orang-orang yang membuat parit.]
An-Naaril dzaatil waquud. [Yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar.]
Idz Hum ‘alaiHaa qu’uud. [Ketika mereka duduk di sekitarnya.]
Wa Hum ‘alaa maa yaf’aluuna bil mu`miniina syuHuud. [Sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.]
Wa maa naqamuu minHum illaa ayyu`minuu billaaHil ‘aziizil hamiid. [Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.]
Sayangnya, kemurnian tauhid penduduk Najran tidak berlangsung lama. Ajaran “Isa adalah Allah, Isa adalah anak Allah, Isa adalah salah satu dari tiga tuhan” akhirnya mengotori keyakinan mereka.”
Ketika Rasulullah Muhammad saw diutus dan berhasil mendirikan negara Islam di Madinah, para pemimpin Najran datang menghadap Rasulullah Muhammad saw. Rasulullah Muhammad saw menyampaikan wahyu Allah tentang Maryam dan Isa as yang tercantum dalam Surat Ali Imran mulai awal surat hingga ayat delapan puluhan. Rasulullah saw mengajak mereka masuk Islam namun mereka menolak. Rasulullah saw pun menantang pendeta Nasrani dan para pemimpin Najran untuk bermubahalah (adu laknat) agar terbukti siapa diantara Rasulullah Muhammad saw dan pendeta Nasrani yang berdusta. Namun mereka tidak berani menerima tantangan itu. Akhirnya para pemimpin Najran menyatakan bergabung dengan Negara Islam tanpa mereka masuk ke dalam Islam. Rasulullah Muhammad saw menerimanya, menggolongkan mereka sebagai kafir dzimmi (orang kafir yang dilindungi nyawa, harta dan kehormatan mereka), dan mengirimkan Abu Ubaidah bin al-Jarrah menjadi gubernur di Najran.
Pada masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab ra, seseorang dari Najran menggali salah satu bekas rumah di Najran untuk suatu keperluan. Ia mendapati Abdullah bin ats-Tsamir, pemuda yang syahid membela tauhid itu, berada di bawahnya dalam keadaan duduk sambil meletakkan tangannya di atas bekas luka di kepalanya. Jika tangannya dilepaskan dari lukanya tersebut, darah mengucur. Jika tangannya diletakkan di atasnya, darah pun berhenti. Di tangan Abdullah bin ats-Tsamir terdapat cincin yang ada tulisannya “Tuhanku adalah Allah”. Kemudian orang dari Najran tersebut menulis surat kepada Amirul Mu`minin Umar bin Khaththab menceritakan kejadian yang dilihatnya. Umar pun mengirim surat balasan yang isinya, “Biarkan Abdullah bin ats-Tsamir dalam posisinya semula, dan kembalikan pemakamannya seperti semula.” Orang –orang Najran pun mematuhi perintah Amirul Mu`minin Umar bin Khaththab.
* * *
Demikianlah Kisah Ashhaabul Ukhduud. Banyak sekali pelajaran yang kita dapatkan. Bahwa pengemban risalah tauhid Laa ilaaHa illallaaH akan selalu berhadapan dengan pemegang panji-panji thaghut. Bahwa pengorbanan jiwa adalah konsekwensi logis dari ketauhidan. Bahwa akan selalu ada utusan Allah yang akan meluruskan dan memurnikan kekotoran-kekotoran yang dibuat oleh pengikut risalah sebelumnya. Dan Rasulullah Muhammad saw adalah penutup nabi dan rasul Allah. Dan bahwa waktu yang akan membuktikan bahwa seorang pemuda yang bernama Abdullah bin ats-Tsamir adalah pemuda pengemban risalah tauhid di alam dunia maupun di alam barzakh. Subhanallah! Semoga kisah ini membawa ibrah (pelajaran berharga) baik untuk kaum muslimin maupun untuk kaum nasrani untuk kembali kepada ketauhidan. Amin(Oleh: Umar Abdullah)
Related Article:
0 comments:
Posting Komentar