Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW terkesan tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad SAW
Beliau dilahirkan 10 tahun sebelum kenabian, dia anak paling kecil dari saudara-saudaranya, dan dididik di rumah Nabi saw, dan saat wahyu diturunkan kepada Rasulullah saw, beliau mengajaknya untuk beriman kepada Allah SWT, maka segera beliau menerima da’wah tersebut dan memeluk agama Allah (Islam), sehingga beliau dinggap sebagai orang pertama yang masuk Islam dari golongan anak-anak.
Saat bapaknya melihatnya sholat bersama Rasulullah saw, dia berkata kepadanya : “Wahai anakku, agama apakah yang engkau anut ini ?” Ali berkata : “Wahai Abi, saya beriman kepada Allah, dan percaya dengan apa yang dibawa oleh Muhammad, saya shalat bersamanya dan mengikutinya”. Bapaknya berkata : “ketahuilah, bahwa dia (Nabi) tidak akan mengajak kamu kecuali dalam kebaikan, maka ikutilah dia”.
Rasulullah saw sangat mencintai Ali dan selalu memujinya, pernah beliau bersabda kepadanya : “Engkau adalah bagian dariku, dan Aku adalah bagian darimu”. (HR Al-Bukhari)
Dan beliau juga pernah bersabda : “Tidak ada yang mencintaimu kecuali orang yang beriman, dan tidak ada yang memusuhimu kecuali orang munafik”. (HR Muslim)
Saat Rasulullah saw akan melakukan hijrah ke Madinah, beliau memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk tidur diatas dipannya, dan disaat malam mulai gelap sekelompok kafir Mekkah melakukan pengepungan dimana setiap orang diantara mereka menggenggam pedang yang menghunus tajam, mereka berdiri di depan pintu rumah Rasulullah saw menunggu keluar untuk menunaikan sholat fajar agar mereka dapat memenggalnya sekaligus, namun Allah SWT telah memberitahukan konspirasi tersebut dan menyuruhnya untuk keluar dari hadapan mereka. Lalu Nabi pun keluar dari rumahnya sedangkan Allah SWT telah membutakan penglihatan orang-orang musyrik, dan nabi menaburkan debu diatas kepala mereka sambil membacakan firman Allah SWT :
“Dan kami jadikan penghalang dihadapan mereka dan dibelakang mereka, dan kami butakan mereka hingga mereka tidak dapat melihat”. (QS. Yasin : 9)
Kemudian saat matahari mulai terbit; orang-orang musyrik baru sadar lalu masuk rumah Nabi sambil menghunuskan pedang mereka untuk membunuh orang yang sedang tidur, namun mereka tidak menemukan Rasulullah saw disana kecuali anak paman beliau, Ali bin Abi Thalib, yang segera bangkit dari tidurnya sambil berhadapan dengan mereka dengan gagah berani.
Setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah, Ali tinggal di Mekkah selama beberapa saat guna menunaikan titipan yang diwasiatkan kepadanya seperti yang telah diperintahkan oleh Rasulullah saw. Dan setelah Ali hijrah ke Madinah Rasulullah saw telah mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshor, lalu beliau berkata kepadanya : “wahai Rasulullah, engkau telah mempersaudarakan antara para sahabatmu, tapi saya belum engkau persaudarakan dengan siapapun ? lalu beliau bersabda kepadanya : “Engkau adalah saudaraku di dunia dan di Akhirat”.
Rasulullah saw juga telah memberikan kabar gembira kepadanya dengan surga, beliau adalah salah seorang calon penghuni surga yang tidak akan dihisab lebih dahulu.
Sebagaimana Rasulullah saw juga telah mengawinkan beliau dari salah seorang putrinya, Fatimah, sedangkan Ali memberikan mahar dengan uang dari harga baju besi yang dihadiahkan Rasulullah saw kepadanya, lalu beliau menjualnya dan memberikan uangnya kepada wanita yang paling mulia di dunia dan kembangnya Rasulullah saw.
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
Ali menjalani hidupnya bersama istrinya dengan aman, tentram dan penuh kasih sayang, dan beliau dikaruniai anak kembar Hasan dan Husain.
Ali juga mengikuti seluruh peperangan, baliau terkenal dengan keberanian dan kepahlawanannya, Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:
: “Besok saya akan memberikan (bendera) arroya kepada seseorang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya (atau dia berkata : orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya), semoga Allah membukakan tangannya (memberkahinya)”. (Al-Bukhari)
Lalu para sahabatpun berharap mendapatkan apa yang telah Raslulullah saw sabdakan menjadi pemegang bendera, lalu setelah hari menjelang pagi, Nabi bertanya keadaan Ali, dikatakan kepadanya : “Sesungguhnya mata beliau sedang sakit wahai Rasulullah”. Nabi bersabda : “Utuslah salah seorang dari kalian kepadanya dan datangkanlah dia kepadaku”.
Setelah beliau menghadap Rasulullah saw, beliau membasuh matanya dan mendoakannya, maka setelah itu menjadi sembuh seakan tidak pernah mengalami sakit apapun, kemudian Ali berkata kepadanya : “Wahai Rasulullah, saya akan memerangi mereka sampai menjadi seperti kami. Nabi bersabda : “Lakukanlah dengan mengutus delegasi hingga bisa mengetahui keadaan mereka, kemudian serukanlah kepada mereka akan Islam, dan kabarkanlah tentang kewajiban dari hak Allah di dalamnya, demi Allah, jika seorang diantara mereka mendapatkan hidayah melaluimu lebih baik bagimu dari unta merah” (Al-Bukhari) kemudian Allah memberikan kemenangan melalui tangannya.
Setelah Allah menurunkan ayat : “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-besihnya”. (QS. Al-Ahzab : 33), Rasulullah saw berdo’a untuk Fatimah, Ali, Hasan dan Husain –semoga Allah meridloi mereka- saat berada di rumah sayyidah Ummu Salmah, dan bersabda : “Ya Allah sesungguhnya mereka adalah ahlul bait saya maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya”. (Ibnu Abdil bar)
Ali banyak menguasai ilmu pengetahun, saat Sayyidah Aisyah ditanya tentang sesuatu dia menjawab : “Tanyakanlah kepada Ali. Sebagaimana Umar juga berkata demikian. Sedangkan Ali pernah berkata : “Tanyakanlah kepada saya , demi Allah tidak ada pertanyaan yang kalian tanyakan kepada saya kecuali akan saya kabarkan kepada kalian, tanyakanlah kepada saya tentang Al-Qur an, karena demi Allah tidak satu ayatpun yang turun kecuali saya mengetahui waktu malam atau siang turun ayat tersebut, di daratan ataupun dipegunungan.
Abu Bakar dan Umar dalam kekhalifahan setelah wafatnya Rasulullah saw mengetahui dan menyadari akan kelebihan Ali, sedangkan Umar pernah memilihnya sebagai kandidat dari enam orang yang dicalonkan sebagai khalifah, dan saat Utsman syahid Ali dipilih menjadi khalifah setelahnya.
Setelah imam Ali menjabat sebagai khalifah pusat pemerintahan dipindahkan dari Madinah ke Iraq, beliau sangat perhatian terhadap urusan umatnya, berjalan mengitari pasar dengan ditemani tongkatnya, dan selalu menyeru manusia untuk taat kepada Allah, jujur, baik dalam berniaga, memenuhi timbangan dan neraca.
Sebagaimana beliau juga selalu membagi harta yang masuk ke baitul mal diantara kaum muslimin. Dan sebelum wafatnya beliau memerintahkan untuk membagikan seluruh harta, kemudian setelah itu menyuruhnya untuk membersihkan baitul mal, lalu berdiri untuk sholat dengan harapan hal tersebut menjadi saksi dihari kiamat.
Beliau sangat tekun beribadah, selalu melakukan qiyamul lail dan memanjangkan sholatnya, dan beliau berkata : “Apa urusan saya dengan dunia, wahai dunia yang menyimpangkanku dari selainku”.
Suatu hari ada dua wanita datang menghadap imam Ali untuk menanyakan sesuatu, salah seorang berasal dari kalangan arab terhormat sedangkan yang lainnya dari golongan budak, lalu beliau memerintahkan kepada keduanya untuk memecahkan makanan dan membagi uang 40 dirham, lalu budak wanita mengambil pemberian yang diberikan lalu pergi, kemudian dia berkata : wahai Amirul Mu’minin, engkau memberikan seperti yang telah saya berikan kepada wanita budak itu, padahal saya adalah wanita arab yang terhormat sedangkan dia adalah budak ? lalu imam Ali berkata : sesungguhnya saya pernah melihat dalam Al-Qur an dan saya tidak pernah menemukan keutamaan antara anak ismail dengan anak Ishak.
Diakhir kekhilafahan Imam Ali fitnah telah menyebar luas hingga kegaduhan terjadi dimana-mana bahkan meluas ke negeri-negeri Islam, lalu keluar tiga orang pemuda dari khawarij dan bersepakat membunuh orang yang menjadi penyebab berkembangnya fitnah, mereka menyangka Ali, Mu’awiyah dan Amru bin Al-‘Ash, adapun Mu’wiyah dan Amru selamat dari pembunuhan, sedangkan Ali seorang Fasik yang bernama Abdul Rahman bin Muljam telah menunggunya saat selesai dari sholat fajar dan manikamnya hingga mengenai kepalanya hingga merenggut nyawanya, hal ini terjadi pada tahun 40 H, sedang umur beliau saat itu 65 tahun.
Beliau dikebumikan di Kufah setelah berjalan kekhalifahan Islam selama 5 tahun kurang 4 bulan, beliau meriwayatkan hadits Rasulullah saw sebanyak 400 hadits, semoga Allah meridloinya dan dia ridlo kepada Allah
ALI BIN ABI THALIB adalah satu sosok sahabat terkemuka Rasulullah saw. Terlampau banyak keutamaan yang disematkan pada diri Ali, baik melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, maupun melalui hadis yang secara langsung disampaikan oleh Rasul. Keutamaan Ali dapat dilihat dari banyak sudut pandang. Dilihat dari proses kelahiran hingga kesyahidannya. Dari kedekatannya dengan Rasulullah, hingga kecerdasannya dalam menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh Rasul kepadanya. Dari situlah akhirnya ia mendapat banyak kepercayaan dari Rasul dalam melaksanakan tugas-tugas ritual maupun sosial keagamaan
Dengan menilik berbagai keutamaan Ali, maka sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin –baik Ahlussunnah, maupun Syiah- bahwa Ali bin Abi Thalib adalah salah satu khalifah pasca Rasulullah. Walaupun terdapat perbedaan pendapat antara Ahlussunah dan Syiah tentang urutan kekhilafahan pasca Rasul, tetapi yang jelas mereka sepakat bahwa Ali termasuk salah satu jajaran khalifah Rasul.
Sabda Rasulullah saw: “Telah kunikahkan engkau –wahai Fathimah- dengan sebaik-baik umatku yang paling tinggi dari sisi keilmuan dan paling utama dari sisi kebijakan…”
Sabda Rasulullah saw: “Ali adalah gerbang ilmuku dan penjelas bagi umatku atas segala hal yang karenanya aku diutus setelahku”.
. Sabda Rasulullah saw: “Hikmah (pengetahuan) terbagi menjadi sepuluh bagian, maka dianugerahkan kepada Ali sembilan bagian, sedang segenap manusia satu bagian (saja)”.
. Berkata ummulmukminin Aisyah: “Ali adalah pribadi yang paling mengetahui dari semua orang tentang as-Sunnah”.
. Berkata Umar bin Khattab: “Ya Allah, jangan Engkau biarkan aku dalam kesulitan tanpa putera Abi Thalib (di sisiku)”.
. Berkata Ibnu Abbas: “Demi Allah, telah dianugerahkan kepada Ali sembilan dari sepuluh bagian ilmu. Dan demi Allah, ia (Ali) telah ikut andil dari satu bagian yang kalian miliki”. Dalam nukilan kitab lain ia berkata: “Tidaklah ilmuku dan ilmu para sahabat Muhammad saw sebanding dengan ilmu Ali, sebagaimana setetes air dibanding tujuh samudera”.
. Berkata Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya al-Quran turun dalam tujuh huruf. Tiada satupun dari huruf-huruf tadi kecuali didalamnya terdapat zahir dan batin. Dan sesungguhnya Ali bin Abi Thalib memiliki ilmu tentang zahir dan batin tersebut”.
. Berkata ‘Adi bin Hatim: “Demi Allah, jika dilihat dari sisi pengetahuan terhadap al-Quran dan as-Sunnah, maka dia –yaitu Ali- adalah pribadi yang paling mengetahui tentang dua hal tadi. Jika dari sisi keislamannya, maka ia adalah saudara Rasul dan memiliki senioritas dalam keislaman. Jika dari sisi kezuhudan dan ibadah, maka ia adalah pribadi yang paling nampak zuhud dan paling baik ibadahnya”.
. Berkata al-Hasan: “Telah meninggalkan kalian, pribadi yang kemarin tiada satupun dari pribadi terdahulu dan akan datang yang bisa mengalahi keilmuannya”.
Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi dijelaskan dari Hayyan al-Asadi; aku mendengar Ali berkata: Rasul bersabda kepadaku: “Sesungguhnya umat akan meninggalkanmu setelahku (sepeninggalku), sedang engkau hidup di atas ajaranku. Engkau akan terbunuh karena (membela) sunahku. Barangsiapa yang mencintaimu, maka ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa yang memusuhimu, maka ia telah memusuhiku. Dan ini akan terwarnai hingga ini (yaitu janggut dari kepalanya)”.
. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam yang menyebutkan; Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menginginkan hidup sebagaimana kehidupanku, dan mati sebagaimana kematianku, dan menempati sorga yang kekal yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku, maka hendaknya ia menjadikan Ali sebagai wali (pemimpin/kecintaan). Karena ia tiada akan pernah mengeluarkan kalian dari petunjuk, dan tiada akan menjerumuskan kalian kepada kesesatan”.
. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Aku adalah kota hikmah, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki hikmah hendaknya melalui pintunya”.
Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari al-Hasan dari Anas bin Malik, ia berkata; Nabi bersabda kepada Ali: “Engkau (Ali) penjelas (atas permasalahan) yang menjadi perselisihan di antara umatku setelahku”.
. Dalam kitab as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar disebutkan, sewaktu Rasul sakit lantas beliau mewasiatkan kepada para sahabatnya, seraya bersabda: “Aku meninggalkan kepada kalian Kitab Allah (al-Quran) dan Itrah (keturunan)-ku dari Ahlul Baitku”. Kemudian beliau mengangkat tangan Ali seraya bersabda: “Inilah Ali bersama al-Quran, dan al-Quran bersama Ali. Keduanya tiada akan berpisah sehingga pertemuanku di al-Haudh (akherat) kelak, maka carilah kedua hal tersebut sebagaimana aku telah meninggalkannya”.Dalam hadis lain disebutkan: “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali. Keduanya tiada akan pernah berpisah hingga pertemuanku di Haudh kelak di akherat”.
. Dari Abbas ad-Dauri, dari Yahya bin Mu’in, ia mengatakan: “Sebaik-baik umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar dan Umar, kemudian Usman, lantas Ali. Ini adalah mazhab kami, juga pendapat para imam kami. Sedang Yahya bin Mu’in berpendapat: Abu Bakar, Umar, Ali dan Usman”.
‘Ali bin Abi Thaib (599 – 661) adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad.
Kisah Ali dan pendeta Yahudi
Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: "Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi."
"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.
"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!"
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib berkata: "Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!"
"Ya baik!" jawab mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"
"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!"
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?"
Ali bin Abi Thalib menjawab: "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut: "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"
"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!"
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"
Ali bin Abi Thalib menjawab: "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: "Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: "Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"
Ali bin Abi Thalib menjawab: "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."
"Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.
"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab: "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."
Pendeta Yahudi itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: "Hai Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"
Ali bin Abi Thalib menerangkan: "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"
"Hai Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan."
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: "Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?"
"Teman-teman," sahut Tamlikha, "hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur."
Teman-temannya mengejar: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?"
"Sudah lama aku memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan. "Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: 'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga bumi ini: 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: "Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!"
"Saudara-saudara," jawab Tamlikha, "baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!"
"Kami setuju dengan pendapatmu," sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: "Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar." Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?"
"Aku mempunyai semua yang kalian inginkan," sahut penggembala itu. "Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!"
"Ah…, susahnya orang ini," jawab mereka. "Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?"
"Ya," jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian."
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"
"Hai Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, "kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: "Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t."
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua."
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!"
Imam Ali menjelaskan: "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!"
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: "Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!"
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: "Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu."
Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: "Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!"
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: "Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi."
Tamlikha kemudian berkata: "Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!"
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: "Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah utusan Allah."
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: "Kusangka aku ini masih tidur!" Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: "Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?"
"Aphesus," sahut penjual roti itu.
"Siapakah nama raja kalian?" tanya Tamlikha lagi. "Abdurrahman," jawab penjual roti.
"Kalau yang kau katakan itu benar," kata Tamlikha, "urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!"
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"
Imam Ali menerangkan: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: "Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!"
"Aku tidak menemukan harta karun," sangkal Tamlikha. "Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!"
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: "Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?"
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: "Bagaimana cerita tentang orang ini?"
"Dia menemukan harta karun," jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: "Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat."
Tamlikha menjawab: "Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!"
Raja bertanya sambil keheran-heranan: "Engkau penduduk kota ini?"
"Ya. Benar," sahut Tamlikha.
"Adakah orang yang kau kenal?" tanya raja lagi.
"Ya, ada," jawab Tamlikha.
"Coba sebutkan siapa namanya," perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: "Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?"
"Ya, tuanku," jawab Tamlikha. "Utuslah seorang menyertai aku!"
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: "Inilah rumahku!"
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: "Kalian ada perlu apa?"
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: "Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!"
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: "Siapa namamu?"
"Aku Tamlikha anak Filistin!"
Orang tua itu lalu berkata: "Coba ulangi lagi!"
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: "Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka." Kemudian diteruskannya dengan suara haru: "Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!"
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: "Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?"
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
"Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: "Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!"
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: "Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!"
Tamlikha menukas: "Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?"
"Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja," jawab mereka.
"Tidak!" sangkal Tamlikha. "Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!"
Teman-teman Tamlikha menyahut: "Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?"
"Lantas apa yang kalian inginkan?" Tamlikha balik bertanya.
"Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga," jawab merekaMereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: "Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!"
Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"
Pendeta Yahudi itu menjawab: "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!"
Kisah Ali Bin Abi Thalib Berniaga Dengan Malaikat
Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari kakeknya, Ali bercerita kepadanya, bahwa ketika ia pulang dari menghadap Rasulullah menuju ke rumahnya, lalu ia menemui Fatimah istri tercintanya sedang duduk. Sementara di depannya terdapat Salman sedang duduk dan membuka bingkisan yang terbungkus kain wol lalu memberikannya kepada Fatimah. Ali RA berkata kepada Fatimah RA : “Wahai wanita termulia, apakah engkau memiliki sesuatu yang bisa kita makan?”
Fatimah R.A menjawab : “Aku tidak memiliki sesuatupun. Akan tetapi ini ada enam dirham. Salman telah memberikannya kepadaku. Aku membungkusnya dengan kain wol. Aku bermaksud membeli makanan untuk Hasan dan Husain RA dengannya.”
Ali R.A berkata : “Wahai wanita termulia berikan kepadaku”. Lalu Fathimah RA memberikan dirham itu kepada Ali R.A.
Ali bin Abi Thalib pun keluar rumah hendak membeli makanan dengan dirham itu. Tiba-tiba langkahnya dihadang seorang lelaki Badui yang berdiri di depannya seraya berkata : “Siapa yang ingin menghutangi Allah Yang Maha Menguasai dan Yang Memberikan Kecukupan ?”. Maka Ali r.a mendekati orang tersebut dan menyerahkan enam dirham kepadanya.
Setelah itu Ali pun pulang ke rumah. Fathimah pun menyambut kedatangan sang suami, Ali bin Abi Thalib. Tapi melihat Ali R.A datang dengan tangan hampa, Fathimah pun menangis.
“Wahai Wanita Termulia, mengapa engkau menangis ? “
Jawab Fathimah R.A : “Wahai Putra Paman Rasulullah SAW mengapa engkau kembali dengan tangan hampa, tak membawa sedikitpun makanan ?”
Ali bin Abi Thalib menjawab : “Aku member pinjaman hutang kepada Allah dengan enam dirham tersebut”….
Fathimah menjawab : “Engkau mendapatkan petunjuk dan telah melakukan hal yang benar”
Ali pun setelahnya pergi hendak menuju rumah Rasulullah SAW, dan ia bertemu seorang Badui menggiring unta mendekatinya lalu ia berkata :”Wahai Abul Hasan ( ayah Hasan, sebuah panggilan bagi Ali R.A) belilah unta ini dariku.”
Ali r.a menjawab : “Aku tidak memiliki apapun untuk membeli unta tersebut”
Badui berkata : “Aku menjual kepadamu dengan pembayaran waktu (hutang)”
Ali berkata : “Dengan harga berapa?”
Badui menjawab : “Harga unta ini seratus dirham”
“Baiklah aku beli “kata Ali r.a
Tidak lama setelah Badui itu menghilang dari pandangan matanya, tiba-tiba seorang Badui lain datang mendekatinya dan berkata : “Hai, Abu Hasan, apakah engkau menjual unta ini?”
“Ya” Jawab Ali bin Abi Thalib.
“Dengan harga berapa ? “tanya Badui itu.
“Dengan harga tiga ratus dirham” kata Ali r.a
“Baiklah , aku beli unta anda, wahai Abu Hasan” Lalu Badui itu membayar tiga ratus dirham secara kontan. Kemudian ia terima tali kekang unta yang diberikan Ali kepadanya.
Ali bin Abi Thalib pun pulang menemui Fathimah seraya tersenyum.
“Wahai putri Rasulullah, aku membeli seekor unta seharga seratus dirham dengan pembayaran waktu. Dan aku menjualnya dengan tiga ratus dirham dengan harga kontan. “Ali menjelaskan arti senyuman kepada istri tercintanya.
“Sungguh engkau benar-benar mendapatkan petunjuk dan pertolongan” kata Fathimah sambil terus bersyukur memuji kebesaran Allah SWT.
Kemudian Ali pergi menemui Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW menyambut Ali bin Abi Thalib di pintu masjid dengan tersenyum dan bersabda :”Wahai Abul Hasan apakah engkau akan memberitahu padaku atau aku yang memberitahu padamu? “
“Hanya Allah dan Rasul Nya yang mengetahui apa yang ada di sisi Nya yang terbaik …” jawab Ali bin Abi Thalib.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda :
“Apakah kamu tahu siapa Badui yang menjual unta dan Badui yang membeli unta darimu ?”
“Hanya Allah dan RasulNya lebih mengetahuinya” Jawab Ali lagi.
“Sungguh engkau beruntung, beruntung dan beruntung wahai Ali. Engkau telah memberi pinjaman kepada Allah SWT enam dirham. Lalu Allah SWT melipatgandakan kepadamu setiap satu dirham sebanyak lima puluh dirham , sehingga menjadi tiga ratus dirham. Ketahuilah bahwa Badui yang pertama menjual unta kepadamu dengan pembayaran tempo adalah Malaikat Jibril a.s , sedangkan Badui yang kedua ( yang membeli unta darimu dengan kontan ) adalah Malaikat Israfil a.s”
Menurut riwayat yang lain : “Orang yang menyerupai Badui yang pertama adalah “Malaikat Jibril” sedangkan orang yang menyerupai Badui kedua adalah Malaikat Mikail a.s
Maka Rasulullah Baginda Muhammad SAW bersabda :
“Ketika sedekah itu dlepaskan dari tangan pemiliknya (orang yang bersedekah) , maka ia jatuh ke tangan Allah sebelum diterima oleh orang yang meminta. Lalu ia ( barang/uang) yang disedekahkan itu berkata tentang 5 (lima) hal :
1. Aku dulu kecil, lalu kau jadikan aku BESAR.
2. Aku dulu sedikit, lalu kau jadikan aku BANYAK.
3. Aku dulu musuhmu, lalu kau jadikan aku mencintaimu.
4. Aku dulu fana (binasa), lalu kau jadikan aku kekal.
5. Dulu Engkau menjagaku, sekarang aku adalah penjagamu”
Diriwayatkan dari Makhul As Syami --Semoga Rahmat Allah terlimpah kepada Beliau—berkata :
“Apabila seorang mukmin bersedekah maka Allah meridhoinya dengan sebab sedekah tersebut, Neraka Jahanam berteriak histeris “Wahai Allah , Izinkan aku bersujud kepadaMu Karena Rasa Syukur ini kepadaMu. Engkau telah membebaskan satu orang umat Muhammad SAW dari siksa ku. Karena Aku Malu kepada Muhammad SAW untuk menyiksa salah seorang umat nya yang kau kasihi. Sementara di sisi lain aku harus taat kepadaMu”
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu’minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Beliau meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah
Ali memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan Husain
Related Article:
0 comments:
Posting Komentar