Imam bonjol lahir pada tahun 1772, nama aslinya Muhammad Sahab. Bonjol adalah nama daerah dimana Muhammad Sahab melakukan dakwahnya dan digelari sebagai Imam. Lahir dari keluarga yang taat beragama. Leluhurnya berasal dari arab, keturunan Rasulullah Muhammad saw. Masa mudanya dipanggil Peto Syarif, kemudian dikenal dengan sebutan Tuanku Mudo, sebutan untuk para Ulama. Ibunya bernama Hamatun, kakeknya bermukim beberapa lama di Afrika utara.
Tuanku Imam Bonjol bernama asli Muhammad Sahab dilahirkan di (Bonjol, Pasaman 1772 - Pineleng, Minahasa, 6 November 1864) adalah pemimpin Perang Padri melawan Belanda. Ia salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia kelahiran Sumatra Barat. Bonjol adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat. Bonjol terkenal karena dilintasi oleh garis khatulistiwa (lintang 0°) dan juga merupakan tempat kelahiran pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol.
Muhammad Sahab yang kemudian dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol, dilahirkan di Tanjung Bunga, Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat, dalam tahun 1772. Setelah belajar agama ada beberapa orang ulama di Sumatra Barat, lalu menjadi guru agama di Tanjung Bunga. Sesudah itu mendirikan negeri Bonjol. Dari situ ia menyebarkan faham Paderi di Lembah Alahan Panjang akan sampai ke Tapanuli Selatan. Sebagai tokoh Paderi, ia cukup disegani. Imam Bonjol memiliki sebuah perpustakaan yang berisi kitab tafsir, hadis, tasawuf, fiqh, nahu, sharaf, mantiq dan ma’ani yang kesemuanya adalah tulisan tangan.
Kemenangan pertama yang gemilang bagi kaum Padri, mendorong Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan gerakan ini untuk memperkuat dan melengkapi persenjataan pasukan Padri. Tindakan ofensif bagi daerah-daerah yang menentang kaum Padri segera dilakukan. Daerah Kamang Hilir ditaklukkan, kemudian menyusul daerah Tilatang. Dengan demikian seluruh Kamang telah berada di tangan kaum Padri.
Dari Kamang operasi pasukan Padri ditujukan ke luar yaitu Padang Rarab dan Guguk jatuh ketangan kaum Padri. Lalu daerah Candung, Matur dan bahkan pada tahun 1804 seluruh daerah Luhak Agam telah ber¬ada di dalam kekuasaan kaum Padri.
Keberhasilan kaum Padri menguasai daerah Luhak Agam, selain kesungguhan yang keras, tetapi juga kondisi masyarakatnya memang sangat memungkinkan untuk cepat berhasil. Sebab daerah Luhak Agam terkenal tempat bermukimnya ulama-ulama besar seperti Tuanku Pamansiangan dan Tuanku Nan Tuo, sedangkan pengaruh para penghulu sangat tipis. Wibawa para penghulu berada di bawah pengaruh para ulama.
Operasi pasukan Padri ke daerah Luhak Lima Puluh Kota berjalan dengan damai. Sebab penghulu daerah ini bersedia menyatakan taat dan patuh kepada kaum Padri serta siap membantu setiap saat untuk kemenangan kaum Padri.
Dengan berkuasanya kaum Padri; maka daerah-daerah yang berada di dalam kekuasaannya diadakan perubahan struktur pemerintahan yaitu pada setiap nagari diangkat seorang ‘Imam dan seorang Kadhi’. Imam bertugas memimpin peribadahan seperti sembah¬yang berjamaah lima waktu sehari semalam, puasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah-masalah ibadah. Kadhi bertugas untuk menjaga kelancaran dijalankannya syari’at Islam dalam arti kata lebih luas dan menjaga ketertiban Umum.
Di daerah Luhak Tanah Datar, pasukan kaum Padri tidak semudah dan selicin di daerah Luhak Adam dan Lima Puluh Kota untuk memperoleh kekuasaannya. Di sini pasukan kaum Padri mendapat perlawanan yang sengit dari golongan penghulu dan pemangku adat. Sebab Luhak Tanah Datar adalah merupakan pusat kekuasaan adat Minangkabau. Kekuasaan itu berpusat di Pagaruyung yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Minangkabau. Di waktu itu Yang Dipertuan atau Raja Minangkabau adalah Sultan Arifin Muning Syah.
Pada pemerintahan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung terdapat tiga orang raja yang berkuasa yang dikenal dengan nama Raja Tigo Selo, yaitu :
(a) Raja Alat atau Yang Dipertuan Pagaruyung, adalah yang memegang kekuasaan tertinggi di seluruh Minangkabau.
(b) Raja Adat, adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah adat.
(c) Raja Ibadat adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah agama.
Dalam pelaksanaan pemerintah sehari-hari Raja Tigo Selo dibantu oleh Basa Empat Balai yang berkedudukan sebagai menteri dalam pemerintahan Minangkabau di Pagaruyung. Mereka itu adalah :
- Dt. Bandaharo atau Tuan Tittah di Sungai Tarab, yang mengepalai tiga orang lainnya atau dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri;
- Makkudun di Sumanik, yang menjaga kewibawaan istana dan menjaga bubungan dengan daerah rantau dan daerah-daerah lainmya;
- Indomo di Suruaso, yang bertugas menjaga kelancaran pelaksanaan adat;
- Tuan Kadhi di Padang Ganting; yang bertugas menjaga kelancaran syari’at atau agama.
Di samping Basa Empat Balai ada seorang lagi, yaitu Tuan Gadang di Batipuh yang bertindak sebagai Pang¬lima Perang, kalau Pagaruyung kacau dialah bersama pasukannya untuk mengamankannya.
Kekuasaan Raja Minangkabau sebetulnya tidak begitu terasa oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari, karena nagari-nagari di Minangkabau mendapat otonomi yang sangat luas, sehingga segala sesuatu di dalam nagari dapat diselesaikan oleh kepala nagari melalui kerapatan adat nagari. Kalau masalahnya tidak selesai dalam nagari baru dibawa ke pimpinan Luhak (kira-kira sana dengan kabupaten sekarang). Kalau masih belum selesai diteruskan ke Basa Empat Balai untuk selanjut¬nya diteruskan ke Raja Adat atau Raja Ibadat, tergantung pada masalahnya. Kalau semuanya tak dapat menyelesaikan masalahnya, maka akan diputuskan oleh Raja Minangkabau.
Oleh karena itu gerakan Padri oleh Raja Minangkabau dan stafnya dianggap satu bahaya besar, sebab gerakan ini akan mengambil kekuasaan mereka. Selain itu para bangsawan pun cemas, karena khawatir adat nenek-moyang yang telah turun-menurun akan lenyap, jika kaum Padri berkuasa.
Pertempuran sengit di daerah Luhak Tanah Datar antara pasukan Padri dengan pasukan Raja berjalan sangat alot. Perebutan daerah Tanjung Barulak, salah satu jalan untuk masuk ke pusat kekuasaan Minang¬kabau dari Luhak Agam, sering berpindah tangan, terkadang dikuasai pasukan Padri, terkadang dapat di¬rebut kembali oleh pasukan raja. Walaupun begitu, pasukan Padri makin hari makin maju, sehingga daerah kekuasaan para penghulu makin lama makin kecil. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk bagi para penghulu, akhirnya atas persetujuan Yang Dipertuan di Pagaruyung, Basa Empat Balai mengadakan perundingan dengan kaum Padri.
Perundingan itu dilaksanakan di nagari Koto Tangah pada tahun 1808, sesudah enam tahun gerakan kaum Padri melancarkan aksinya. Kaum Padri dalam perundingan itu dipimpin oleh Tuanku Lintau yang datang dengan seluruh pasukannya, sedangkan para penghulu dipimpin oleh Raja Minangkabau sendiri. Seluruh staf raja dan sanak keluarganya hadir dalam pertemuan tersebut, tanpa menaruh curiga sedikit juga, karena gencatan senjata telah disepakati sebelumnya.
Tetapi sekonyong-konyong keadaan menjadi kacau sebelum perundingan dimulai. Karena kesalah-pahaman antara bawahan Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Belo dengan para staf raja, yang berakibat meledak men¬jadi perkelahian dan pertumpahan darah.
Raja dan hampir sebagian terbesar staf dan keluarga¬nya mati terbunuh dalam perkelahian itu, hanya ada beberapa orang dari para penghulu dan seorang cucu raja yang dapat selamat meloloskan diri sampai ke Kuantan.
Mendengar peristiwa berdarah ini, Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri sangat marah terhadap Tuanku Lintau dan pasukannya, karena dianggap melanggar gencatan senjata yang telah disepakati dan berarti menggagalkan usaha perdamaian.
Dengan peristiwa ini, maka praktis seluruh Luhak Tanah Datar menyerah kepada kaum Padri tanpa perlawanan, karena takut melihat pengalaman di Koto Tangah.
Untuk mengokohkan gerakan kaum Padri, Tuanku Nan Renceh telah memerintahkan salah seorang murid¬nya yang bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau Muhammad Syahab, untuk membuat sebuah benteng yang kuat, sebagai markas gerakan kaum Padri. Pemilihan Malin Basa, yang kemudian bergelar Tuanku Mudo untuk membuat benteng besar, guna menjadi pusat gerakan kaum Padri, disebabkan karena Malin Basa (Tuanku Mudo) seorang murid yang pandai, alim dan berani.
Perintah Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri dan guru dari Tuanku Mudo, dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan keberanian dan berhasil memilih tempat di sebelah timur Alahan Panjang, di kaki bukit yang bernama Bukit Tajadi. Dengan bantuan seluruh umat Islam yang tinggal di sekitarAlahan Panjang, di mana setiap hari bekerja tidak kurang dari 5000 orang, akhirnya ‘Benteng Bonjol’ yang terletak di bukit Tajadi itu menjelma menjadi kenyataan dengan ukuran panjang kelilingnya kira-kira 800 meter dengan areal seluas kira-kira 90 hektar, tinggi tembok empat meter dengan tebalnya tiga meter. Di sekelilingnya ditanami pagar aur berduri yang sangat rapat.
Di tengah-tengah benteng Bonjol berdiri dengan megahnya sebuah masjid yang lengkap dengan perkampungan pasukan Padri dan rakyat yang setiap saat mereka dapat mengerjakan sawah ladangnya untuk keperluan hidup sehari-hari. Sesuai dengan, fungsinya, maka benteng Bonjol juga diperlengkapi dengan persenjataan perang, guna setiap saat siap menghadapi pertempuran. Benteng Bonjol itu dipimpin langsung oleh Tuanku Mudo yang bertindak sebagai ‘imam’ dari masyarakat benteng Bonjol, yang sesuai dengan struktur pemerintahan kaum Padri. Oleh sebab itu, Tuanku Mudo digelari dengan ‘Imam Bonjol’.
Setelah benteng Bonjol selesai dan struktur pemerintahan lengkap berdiri, Imam Bonjol memulai gerakan Padrinya ke daerah-daerah sekitar Alahan Panjang dan berhasil dengan sangat memuaskan. Keberbasilan Imam Bonjol dengan pasukannya menimbulkan kecemasan para penghulu di Alahan Panjang seperti antara lain Datuk Sati. Kecemasan ini melahirkan satu gerakan para penghulu di Alahan Panjang untuk menyerang pasukan Imam Bonjol dan merebut benteng sekaligus. Pada tahun 1812 Datuk Sati dengan pasukannya menyerbu benteng Bonjol, tetapi sia-sia dan kekalahan diderita olehnya. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka Datuk Sati mengajak diadakannya perdamaian antara para penghulu dengan Imam Bonjol.
Keberhasilan Imam Bonjol menguasai seluruh daerah Alahan Panjang, ia kemudian diangkat menjadi pe¬mimpin Padri untuk daerah Pasaman. Untuk meluaskan kekuasaan kaum Padri, Imam Bonjol mengarahkan pasukannya ke daerah Tapanuli Selatan. Mulai Lubuk Sikaping sampai Rao diserbu oleh pasukan Imam Bonjol. Dari sana terus ke Talu, Air Bangis, Sasak, Tiku dan seluruh pantai barat Minangkabau sebelah utara.
Setelah seluruh Pasaman dikuasai, maka untuk memperkuat basis pertahanan untuk penyerangan ke utara, didirikan pula benteng di Rao dan di Dalu-Dalu. Benteng ini terletak agak ke sebelah utara Minangkabau. Benteng Rao dikepalai oleh Tuanku Rao, sedangkan benteng Dalu-Dalu dikepalai oleh Tuanku Tambusi. Kedua perwira Padri ini berasal dari Tapanuli dan berada di bawah pimpinan Imam Bonjol.
Dengan mengangkat Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi sebagai pimpinan kaum Padri di Tapanuli Selatan, gerakan Padri berjalan dengan sangat berhasil, tanpa menghadapi perlawanan yang berarti. Daerah-daerah di sini bagitu setia untuk menjalankan syari’at Islain secara penuh, sesuai dengan missi yang diemban oleh gerakan Padri.
Saat kaum Padri bergerak menguasai Tapanuli Selatan dan daerah pesisir barat Minangkabau, Belanda muncul kembali di Padang. Tuanku Pamansiangan salah seorang pemimpin di Luhak Agam mengusulkan kepada Imam Bonjol untuk menarik pasukan Padri dari Tapanuli Selatan dan menggempur kedudukan Belanda di Padang yang belum begitu kuat. Karena baru saja serah terima kekuasaan dari Inggeris (1819). Tetapi perwira-perwira Padri seperti Tuanku Raos, Tuanku Tambusi dan Tuanku Lelo dari Tapanuli Selatan ber¬kebaratan untuk melaksakan usul itu, oleh karena itu Imam Bonjol hanya dapat memantau kegiatan dan gerakan pasukan Belanda melalui kurir-kurir yang sengaja dikirim ke sana.
Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah ter¬sebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Tuanku Rao gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan pasukan Padri melawan pasukan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.
Kemenangan yang diperoleh Belanda dalam medan pertempuran menghadapi pasukan Padri, menumbuhkan semangat bagi golongan penghulu, yang selama ini kekuasaannya telah lepas. Dengan secara diam-diam para penghulu Minangkabau mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda untuk memerangi kaum Padri. Para penghulu yang mengatasnamakan yang Dipertuan Minangkabau langsung mengikat perjanjian kerjasama dengan Residen Belanda di Padang yang bernama Du Puy.
Dengan terjalinnya kerjasama antara para penghulu dengan Belanda, maka berarti kaum Padri akan menghadapi bahaya besar. Dalam kondisi demikian, tiba-tiba Tuanku Nan Renceh, Yang menjadi pimpinan tertinggi kaum Padri yang gemilang pada tahun 1820 wafat. Kekosongan ini secara demokrasi diisi oleh Iman Bonjol. Atas persetujuan para perwira pasukan Padri, Imam Bonjol langsung memimpin gerakan Padri untuk menghadapi pasukan gabungan Belanda-Penghulu.
Pada tahun 1821 pertahanan Belanda di Semawang diserang oleh pasukan Padri; sedangkan pasukan Belanda yang mencoba memasuki Lintau dicerai-beraikan. Untuk menguasai medan, pasukan Belanda membuat benteng di Batusangkar dengan nama ‘Benteng atau Fort van der Capellen’. Berulang kali pasukan Belanda-Penghulu menyerang kedudukan pasukan Padri di Lintau, tetapi selalu mendapati kegagalan, bahkan pernah pasukan Belanda-Penghulu terjebak.
Perlawanan yang sengit dari pasukan Padri, mendorong Belanda untuk memperkuat pasukannya di Padang. Pada akhir tahun 1821 Belanda mengirimkan pasukannya dari Batavia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff. Dengan bantuan militer yang lengkap persenjataannya, pasukan Belanda melakukan ofensif terhadap kedudukan pasukan Padri.
Operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda-Penghulu ditujukan ke daerah yang dianggap strategis yaitu Luhak Tanah Datar. Dengan menaklukkan Luhak Tanah Datar, yang berpusat di Pagaruyung, menurut dugaan Belanda perlawanan pasukan Padri akan mudah ditumpas. Oleh karena itu pada tahun 1822 pasukan Belanda-Penghulu di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff menyerang Pagaruyung. Pertempuran sengit terjadi, korban dari kedua pihak banyak yang berjatuhan. Karena kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri ke daerah Lintau setelah meninggalkan korban di pihak Belanda yang cakup besar.
Usaha pengejaran dilakukan terus oleh pasukan Belanda dengan jalan mendatangkan bantuan dari Batusangkar. Tetapi pasukan Belanda sesampainya di Lintau seluruhnya dapat dipukul mundur dan terpaksa kembali ke pangkalan mereka di Batusangkar.
Setelah Belanda memperkuat diri, ofensif dilakukan kembali dengan jalan memblokade daerah Lintau, sehingga terputus hubungannya dengan Luhak Lima Puluh Kota dan Luhak Agam. Walaupun nagari Tanjung Alam dapat direbut oleh pasukan Belanda, tetapi usaha¬nya untuk merebut Lintau dapat dipatahkan, karena pasukan Padri di Luhak Agam di bawah pimpinan Tuanku Pamansiangan memberikan perlawanan yang sengit. Kemudian Letnan Kolonel Raaff menyusun kembali pasukannya untuk merebut Luhak Agam, Koto Lawas, Pandai Sikat dan Gunung; dan kali ini berhasil, setelah melalui pertempuran dahsyat, di mana Tuanku Pamansiangan dapat tertangkap, yang kemudian dihukum gantung oleh Belanda.
Pada akhir tahun 1822 pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol melakukan serangan balasan terhadap pasukan Belanda di berbagai daerah yang pernah didudukinya. Pertama-tama Air Bangis mendapat serang¬an pasukan Padri. Operasi ke Air Bangis ini langsung dipimpin oleh Imam Bonjol dibantu oleh perwira-perwira pasukan Padri dari Tapanuli Selatan. Hanya dengan pertahanan yang luar biasa dan dibantu dengan tembakan-tembakan meriam laut, Air Bangis dapat selamat dari serangan pasukan Padri. Kegagalan ini, pasukan Padri mencoba merebut kembali daerah Luhak Agam. Serangan pasukan Padri ke daerah ini berhasil merebut kembali daerah Sungai Puar, Gunung, Sigandang dan beberapa daerah lainnya.
Awal tahun 1823 Kolonel Raaff mendapatkan tambahan pasukan militer dari Batavia. Dengan kekuatan baru, pasukan Belanda mengadakan operasi militer besar-besaran untuk merebut seluruh Luhak Tanah Datar. Tetapi di bukit Marapalam terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri selama tiga hari tiga malam, sehingga Belanda terpaksa harus mengundurkan diri. Tetapi operasi militer Belanda itu diarahkan ke Luhak Agam seperti daerah Biaro dan Gunung Singgalang. Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri, tetapi karena kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya daerah-daerah itu dapat direbutnya. Kemenangan pasukan Belanda diikuti oleh tindakan biadab dengan jalan melakukan pembunuhan massal terhadap penduduk, besar-kecil, laki-laki maupun perempuan.
Pengalaman pertempuran selama tahun 1823, membuat Belanda berhitung dua kali. Sebab banyak daerah yang telah direbutnya, ternyata dapat kembali diambil oleh pasukan Padri. Operasi militer besar-besaran dengan tambahan pasukan dari Batavia terbukti tidak dapat menumpas pasukan Padri. Oleh karena itu, untuk kepentingan konsolidasi, Belanda berusaha untuk mengadakan perjanjian gencatan senjata. Usaha ini berhasil, sehingga pada tanggal 22 Januari 1824 perjanjian gencatan senjata di Masang ditanda-tangani oleh Belanda dan kaum Padri.
Perjanjian Masang hanya dapat bertahan kira-kira satu bulan lebih sedikit. Sebab Belanda dengan tiba-tiba mengadakan gerakan militer ke daerah Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam. Melalui pertempuran dahsyat, pusat Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam dapat sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda, dan mereka mendirikan benteng dengan nama Fort de Kock di sana. Dengan kekalahan pasukan Padri di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam, maka Imam Bonjol memusatkan kekuatan kaum Padri di benteng Bonjol dan sekitarnya sambil sekaligus melakukan konsolidasi pasukan yang telah jenuh berperang selama lebih dari duapuluh tahun lamanya.
Sementara itu pada tahun 1825 di Jawa telah pecah perang Jawa. Dengan timbulnya perang Jawa ini, ke¬kuatan pasukan Belanda menjadi terpecah dua: sebagian untuk menghadapi perang Padri yang tak kunjung selesai, dan yang sebagian lagi harus menghadapi Perang Jawa yang baru muncul. Karena perang Jawa dianggap oleh Belanda lebih strategis dan dapat mengancam ek¬sistensi Belanda di Batavia, pusat pemerintahan kolonial Belanda (Hindia Belanda), maka mau tidak mau semua kekuatau militer harus dipusatkan untuk menghadapi perang Jawa.
Untuk itu perlu ditempuh satu kebijaksanaan guna mengadakan perdamaian kembali dengan kaum Padri di Sumatera Barat. Pada tahun 1825 usaha perdamaian dan gencatan senjata dengan kaum Padri berhasil dicapai, dengan jalan mengakui kedaulatan kaum Padri di be¬berapa daerah Minangkabau yang memang masih secara penuh dikuasairiya. Perjanjian damai dan gencatan senjata dipergunakan oleh Belanda untuk menarik pasukannya dari Sumatera Barat setanyak 4300 orang, dan mensisakannya hanya 700 orang saja lagi. Pasukan sisa sebanyak 700 orang serdadu itu, digunakan hanya untuk menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan Belanda di Sumatera Barat.
Setelah Perang Jawa selesai dan kemenangan diperoleh oleh penguasa kolonial Belanda, maka kekuatan militer Belanda di Jawa sebagian terbesar dibawa ke Sumatera Barat untuk menghadapi Perang Padri. Dengan kekuatan militer yang besar Belanda melakukan serangan ke daerah pertahanan pasukan Padri. Pada akhir tahun 1831, Katiagan kota pelabuhan yang men¬jadi pusat perdagangan kaum Padri direbut oleh pasukan Belanda. Kemudian berturut-turut Marapalam jatuh pada akhir 1831, Kapau, Kamang dan Lintau jatuh pada tahun 1832, dan Matur serta Masang dikuasai Belanda pada tahun 1834.
Kejatuhan daerah-daerah pelabuhan ke tangan Belanda mendorong kaum Padri, yang memusatkan kekuatannya di benteng Bonjol, mencari jalan jalur per¬dagangan melalui sungai Rokan, Kampar Kiri dan Kampar Kanan, di mana sebuah anak sungai Kampar kanan dapat dilayari sampai dekat Bonjol. Hubungan Bonjol ke timur melalui anak sungai tersebut sampai ke Pelalawan, dan dari sana bisa terus ke Penang dan Singapura, dapat dikuasai. Tetapi jalur pelayaran ini, pada akhir tahun 1834 dapat direbut oleh Belanda. Dengan demikian posisi pasukan Padri yang berpusat di benteng Bonjol mendapat kesulitan, terutama dalam memperoleh suplai bahan makanan dan persenjataan.
Kemenangan yang gilang-gemilang diperoleh pasukan Belanda menimbulkan kecemasan para golong¬an penghulu, yang selama ini telah membantunya. Kekuasaan yang diharapkan para penghulu dapat di¬pegangnya kembali, ternyata setelah kemenangan Belanda menjadi buyar. Sikap sombong dan moral yang bejat yang dipertontonkan oleh pasukan Belanda-¬Kristen, seperti menjadikan masjid sebagai tempat asrama militer dan tempat minum-minuman keras, mengusir rakyat kecil dari rumah-rumah mereka, pembantaian massal, pemerkosaan terhadap wanita-¬wanita, memanjakan orang-orang Cina dengan memberi kesempatan menguasai perekonomian rakyat, akhirnya menimbulkan rasa benci dan tak puas dari golongan penghulu kepada Belanda. Kebencian dan kemarahan para penghulu menumbuhkan rasa harga diri untuk mengusir Belanda dari daerah Minangkabau untuk me¬lakukan perlawanan terhadap Belanda secara sendirian tidak mampu, karenanya perlu adanya kerjasama dengan kaum Padri.
Uluran tangan golongan penghulu disambut baik oleh kaum Padri. Perjanjian kerjasama dan ikrar antara golongan penghulu dengan kaum Padri untuk mengusir Belanda, dari tanah Minangkabau dilaksanakan pada akhir tahun 1832 bertempat di lereng gunung Tandikat. Gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin langsung oleh Imam Bonjol.
Setelah Perang Diponogoro tahun 1825 sampai 1830 berakhir, Belanda mengerahkan kekuatan yang besar untuk menaklukkan sekuruh daerah Sumatra Barat. Sebagian demi sebagian daerah tersebut jatuh ke tangan Belanda. Daerah yang dikuasai Tuanku Imam Bonjol bertambah sempit dan terkurung oleh daerah-daerah yang sudah dikuasai Belanda. Dalam bulan September 1832 Bonjol diduduki Belanda, tetapi tiga bulan kemudian direbut kembali. Gubenur Jenderal Van den Bosch dating ke Sumatra Barat untuk memimpin serangan terhadap Bonjol, tetapi serangan itu gagal. Sesudah itu Belanda mengumumkan Plakat Panjang yang berisi ajakan untuk berdamai. Tuanku Imam Bonjol curiga terhadap ajakan tersebut.
Dalam tahun 1834 Belanda mengerahkan pasukan yang besar. Negeri Bonjol dikepung dengan ketat. Kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, tetapi tetap tidak mau berdamai dengan Belanda. Pasukan bertambah kurang. Untuk merebut Bonjol, tiga kali Belanda mengganti panglima perangnya.
Barulah setelah lebih dari tiga tahun dikepung, negeri Bonjol jatuh ke tangan Belanda, yakni pada tanggal 16 Agustus 1837. Tuanku Imam Bonjol berhasil menyelamatkan diri dan melanjutkan perjuangan di tempat lain. Dalam bulan Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, dekat Manado. Di tempat terakhir itu beliau meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864 dan dimakamkan disana. Jadi, Imam Bonjol wafat dan dimakamkan di Lotak, Minahasa sewaktu dalam pengasingannya.
Adapun hal-hal yang menarik dari Tuanku Imam Bonjol sebagai suri teladan yang baik, yakni beliau orang yang tidak mudah putus asa, walaupun masalah sulit, dan beliau seorang yang sangat rajin dalam hal menulis sampai-sampai beliau memiliki perpustakaan yang hanya karya beliau sendiri dengan tulisannya sendiri, tekun, cerdik, dalam segala hal karena beliau selalu memperhitungkan untuk semua kejadian yang akan datang. Beliau merupakan keturunan Rasulullah Muhammad saw. Beliau sering dakwah di jalan Allah untuk umat muslim, dan beliau juga memiliki gelar imam. Keyakinan yang beliau pegang selalu teguh dan tak pernah roboh maupun hancur
Related Article:
2 comments:
NICE........
Al-Fatihah buat Tuanku Imam Bonjol The Legend.
Posting Komentar