Dalam musyawarah tersebut ada beberapa pilihan tahun bersejarah sebagai patokan untuk memulai tarikh Islam tersebut yaitu: tahun kelahiran Nabi Muhammad, tarikh kebangkitannya menjadi Rasul, tahun wafatnya, atau ketika Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah. Diantara pilihan tersebut maka akhirnya ditetapkanlah bahwa dimulai dari hari berpindahnya (hijrahnya) Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah menjadi awal tarikh Islam yaitu awal tahun Hijriyah, sebagaimana dahulu telah ditetapkan bahwa, hari Nabi Isa a.s. dilahirkan ditetapkan sebagai awal tahun Miladiyah atau Masihiyah.
Kemudian setelah permulaan tahun itu diputuskan, maka dimusyawarahkan pula bulan apa yang baik dipergunakan untuk tiap-tiap awal tahun tersebut.Akhirnya setelah dipilih maka ditetapkanlah bahwa bulan Muharramlah yang dipergunakan untuk permulaan tahun Islam.
Hijrahnya Nabi sangat besar artinya dalam sejarah perkembangan da’wah Islamiyah. Karena setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, da’wah Islam mulai mencapai kejayaannya yang gemilang. Kalau sebelum hijrah ummat Islam adalah golongan yang ditindas dan disiksa oleh kaum Musyrikin, maka setelah Nabi hijrah kaum muslimin telah mempunyai kedudukan yang kuat dan telah terbentuk sebuah negara Islam yang memiliki peraturan, pimpinan serta undang-undang tersendiri. Oleh karena itu diharapkan peristiwa hijrah akan dikenang oleh umat Islam pada tiap-tiap tahun bagaimana perjuangan yang gigih dan pengorbanan tenaga dan jiwa raga Nabi serta para sahabatnya dalam meneggakkan Islam. Disamping itu hijrah Nabi juga menunjukkan bahwa Allah memisahkan dan membedakan antara yang haq dan yang bathil, membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Pada dasarnya sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi keluar dari kota Mekkah pada hari kamis akhir bulan Shafar, dan keluar dari tempat persembunyiannya di Gua Tsur pada tanggal 2 Rabi’ul Awwal (20 September 622 M) untuk menuju ke Madinah. Dan menurut al-Mas’udi, Rasulullah memasuki Madinah tepat pada malam hari 12 Rabi’ul Awwal. Sementara Umar dan para sahabat-sahabatnya menetapkan awal bulan hijriyah adalah bulan Muharram bukannya bulan Rabi’ul Awwal adalah semata-mata memandang bahwa bulan Muharram adalah bulan yang mula-mula Nabi berniat untuk berhijrah. Selain itu di bulan Muharram ini pulalah para jama’ah haji baru selesai mengerjakan ibadah haji dan pulang kenegerinya masing-masing. Dengan adanya keputusan yang demikian itu, seolah-olah hijrah Nabi jatuh pada bulan Muharram dan dipandang patut sebagai permulaan tahun didalam Islam.
Adapun nama-nama bulan pada tahun hijrah tersebut adalah : Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah.
Memasuki awal tahun baru Hijriyah 1431 H. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini pun tak ada yang istimewa dari adanya pergantian tahun Hijrah; kecuali bahwa bagi umat Islam, Tahun Baru Hijriyah kali ini sebetulnya merupakan tahun yang penuh dengan ironi. Dimana dunia ekonomi semakin kapitalistik, budaya hedonisktik, pendidikan sekuleristik, dan politik oportunistik.
Di satu sisi, Tahun Baru Hijrah sudah seharusnya diperingati dengan penuh sukacita dan kegembiraan. Sebab, penetapan Tahun Hijrah, sebagaimana kita ketahui, didasarkan pada momentum hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah. Hijrah Rasulullah Saw sendiri sesungguhnya meneguhkan dirinya sebagai:
Pertama, pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara dâr al-Islâm dan dâr al-kufr. Paling tidak, demikianlah kata-kata 'Umar bin al-Khaththab ketika ia menyatakan, "Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Karena itu, mulailah penanggalan dari hijrahnya Rasulullah." [HR. Ibn Hajar].
Kedua, tonggak berdirinya Daulah Khilafah Islamiyah (negara Islam) untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah pasca Hijrah Nabi Saw telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam; bahkan dengan struktur yang-menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah-terlalu modern untuk ukuran zamannya. Saat itu, Muhammad Rasulullah Saw sendiri yang menjabat sebagai kepala negaranya.
Ketiga, awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya setelah selama 13 tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang kafir Makkah. Pasca Hijrahlah Islam bangkit dan berkembang pesat hingga menyebar ke seluruh Jazirah Arab dan mampu menembus berbagai pelosok dunia.
Setelah Rasulullah Saw wafat, kepemimpinan negara kemudian beralih kepada Abu Bakar ra. Sejak saat itulah era Kekhilafahan Islam dimulai. Selama itu pula Daulah Khilafah Islamiyah selama berabad-abad-sebelum akhirnya secara tragis diruntuhkan, yakni pada periode Kekhilafahan Islam Turki Utsmani-menjadi satu-satunya institusi negara dan politik bagi seluruh kaum Muslim yang menerapkan seluruh sistem hukum Islam. Daulah Khilafah Islamiyah juga selama berabad-abad menjadi institusi yang paling efektif menjalankan dan menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia sekaligus menghancurkan berbagai penghalang fisik/militer dari pihak musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
Pada institusi Daulah Khilafah Islamiyahlah kaum Muslim bersandar serta mengadukan berbagai tindakan kezaliman yang mereka alami serta berbagai kesengsaraan hidup. Daulah Khilafah Islamiyah pun merupakan tempat mereka berlindung dari rasa takut akan ancaman, pengejaran, penahanan, dan pembantaian yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim. Benarlah kiranya sabda Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya seorang imam (khalifah) itu adalah laksana perisai; orang-orang akan berperang dibelakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung." [HR. Muslim].
Lebih dari itu, yang tak kalah ironisnya, setiap kali Tahun Hijrah-yang merupakan simbol kebangkitan Islam dan kaum Muslim-berganti, setiap kali pula nasib umat Islam semakin terpuruk. Setiap saat mereka tak henti-hentinya dihadapkan pada sejumlah persoalan dan krisis yang terus menumpuk tanpa ada penyelesaian yang berarti. Sistem hukum Islam dikebiri; identitas Islam dipasung; dan kaum Muslim sendiri ditindas. Yang paling mutakhir, selain ekonomi yang semakin akut, umat Islam di Indonesia didera oleh krisis politik dalam negeri yang tak kunjung usai akibat system kapitalis,. Berbagai krisis tersebut sebetulnya bermuara pada krisis institusi negara, yakni tidak adanya negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) selama kurang-lebih 80 tahun sebagaimana sebelumnya.
Tanpa sebuah Daulah Khilafah Islamiyah, umat Islam menderita kesengsaraan yang luar biasa. Mereka menjadi terpecah-belah; hidup di sejumlah negara yang lemah; serta terpasung oleh batas-batas geografis dan nation (kebangsaan), yang justru direkayasa oleh penjajah Barat. Akibatnya, jangankan bersatu menghadapi penjajah, umat Islam sendiri saling bertikai satu sama lain atas dasar kepentingan nasional masing-masing. Perang Irak-Iran berlangsung bertahun-tahun -sebelum akhirnya dihancurkan oleh negara penjajah Amerika dan sekutunya. Negara-negara Arab di Timur Tengah dengan rela menyediakan fasilitas pangkalan militer AS yang justru digunakan untuk menyerang negeri-negeri Muslim seperti Afganistan dan Irak.
Tanpa Daulah Khilafah Islamiyah pula hukum-hukum Allah-terutama dalam masalah sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan-menjadi terlantar. Padahal, setiap penelantaran terhadap hukum Allah terbukti telah menyengsarakan kaum Muslim. Kenyataan itu telah tampak jelas di tengah-tengah kita sekarang ini. Secara politik mereka tunduk di bawah permainan politik negara-negara Barat penjajah. Secara ekonomi sebagian besar negeri-negeri Islam termasuk ke dalam kategori negara-negara berkembang dan miskin. Sebab, kekayaan alam mereka dibiarkan diekploitasi untuk kepentingan penjajah Barat. Pada saat yang sama, banyak negeri Islam yang kaya, seperti Indonesia, dijerat utang luar negeri yang sengaja dipasang oleh IMF dan Bank Dunia. Akibatnya, mereka tak berkutik di hadapan kepentingan kapitalisme Barat.
Sementara itu, di bidang pemerintahan, hampir sebagian besar negeri-negeri Islam mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi yang kufur. Padahal, demokrasilah sesungguhnya yang menjadi pemicu utama terjadinya berbagai konflik antar sesama kaum Muslim, khususnya antara rakyat dan penguasa mereka. Di bidang pendidikan negeri-negeri Islam dipaksa menyelenggarakan pendidikan sekular yang kemudian mencetak generasi-generasi Islam yang bukan saja jauh dari akar Islam, tetapi malah membenci Islam. Mereka menjadi generasi yang lebih menyakini ide-ide penjajah Barat dibandingkan dengan ide-ide yang berasal dari Islam.
Semua hal di atas tentu saja menjadi ironis sekaligus merupakan tragedi bagi kaum Muslim di tengah-tengah pergantian Tahun Hijrah -sebagai simbol kebangkitan Islam dan kaum Muslim- yang berlangsung setiap tahun.
Namun demikian, ketiadaan Daulah Khilafah Islamiyah sesungguhnya bukan hanya mengakibatkan penderitaan umat Islam, tetapi juga melahirkan nestapa bagi seluruh umat manusia di dunia. Saat tidak dipimpin oleh Islam, tetapi dipimpin oleh Barat yang kapitalis, dunia mengalami penderitaan yang luar biasa dalam berbagai bidang. Berbagai krisis global terjadi saat ini, mulai dari masalah kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, kebo-dohan sampai pada konflik dan ancaman. Memasuki awal tahun baru Hijriyah 1427 H. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini pun tak ada yang istimewa dari adanya pergantian tahun Hijrah; kecuali bahwa bagi umat Islam, Tahun Baru Hijriyah kali ini sebetulnya merupakan tahun yang penuh dengan ironi. Dimana dunia ekonomi semakin kapitalistik, budaya hedonisktik, pendidikan sekuleristik, dan politik oportunistik.
Di satu sisi, Tahun Baru Hijrah sudah seharusnya diperingati dengan penuh sukacita dan kegembiraan. Sebab, penetapan Tahun Hijrah, sebagaimana kita ketahui, didasarkan pada momentum hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah. Hijrah Rasulullah Saw sendiri sesungguhnya meneguhkan dirinya sebagai:
Pertama, pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara dâr al-Islâm dan dâr al-kufr. Paling tidak, demikianlah kata-kata 'Umar bin al-Khaththab ketika ia menyatakan, "Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Karena itu, mulailah penanggalan dari hijrahnya Rasulullah." [HR. Ibn Hajar].
Kedua, tonggak berdirinya Daulah Khilafah Islamiyah (negara Islam) untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah pasca Hijrah Nabi Saw telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam; bahkan dengan struktur yang-menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah-terlalu modern untuk ukuran zamannya. Saat itu, Muhammad Rasulullah Saw sendiri yang menjabat sebagai kepala negaranya.
Ketiga, awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya setelah selama 13 tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang kafir Makkah. Pasca Hijrahlah Islam bangkit dan berkembang pesat hingga menyebar ke seluruh Jazirah Arab dan mampu menembus berbagai pelosok dunia.
Setelah Rasulullah Saw wafat, kepemimpinan negara kemudian beralih kepada Abu Bakar ra. Sejak saat itulah era Kekhilafahan Islam dimulai. Selama itu pula Daulah Khilafah Islamiyah selama berabad-abad-sebelum akhirnya secara tragis diruntuhkan, yakni pada periode Kekhilafahan Islam Turki Utsmani-menjadi satu-satunya institusi negara dan politik bagi seluruh kaum Muslim yang menerapkan seluruh sistem hukum Islam. Daulah Khilafah Islamiyah juga selama berabad-abad menjadi institusi yang paling efektif menjalankan dan menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia sekaligus menghancurkan berbagai penghalang fisik/militer dari pihak musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
Pada institusi Daulah Khilafah Islamiyahlah kaum Muslim bersandar serta mengadukan berbagai tindakan kezaliman yang mereka alami serta berbagai kesengsaraan hidup. Daulah Khilafah Islamiyah pun merupakan tempat mereka berlindung dari rasa takut akan ancaman, pengejaran, penahanan, dan pembantaian yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim. Benarlah kiranya sabda Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya seorang imam (khalifah) itu adalah laksana perisai; orang-orang akan berperang dibelakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung." [HR. Muslim].
Lebih dari itu, yang tak kalah ironisnya, setiap kali Tahun Hijrah-yang merupakan simbol kebangkitan Islam dan kaum Muslim-berganti, setiap kali pula nasib umat Islam semakin terpuruk. Setiap saat mereka tak henti-hentinya dihadapkan pada sejumlah persoalan dan krisis yang terus menumpuk tanpa ada penyelesaian yang berarti. Sistem hukum Islam dikebiri; identitas Islam dipasung; dan kaum Muslim sendiri ditindas. Yang paling mutakhir, selain krisis ekonomi yang semakin akut, umat Islam didera oleh krisis politik berupa tekanan yang bertubi-tubi dari pihak Barat imperialis, khususnya Amerika, di balik apa yang disebut sebagai "Perang Melawan Terorisme". Berbagai krisis tersebut sebetulnya bermuara pada krisis institusi negara, yakni tidak adanya negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) selama kurang-lebih 80 tahun sebagaimana sebelumnya.
Tanpa sebuah Daulah Khilafah Islamiyah, umat Islam menderita kesengsaraan yang luar biasa. Mereka menjadi terpecah-belah; hidup di sejumlah negara yang lemah; serta terpasung oleh batas-batas geografis dan nation (kebangsaan), yang justru direkayasa oleh penjajah Barat. Akibatnya, jangankan bersatu menghadapi penjajah, umat Islam sendiri saling bertikai satu sama lain atas dasar kepentingan nasional masing-masing. Perang Irak-Iran berlangsung bertahun-tahun -sebelum akhirnya dihancurkan oleh negara penjajah Amerika dan sekutunya. Negara-negara Arab di Timur Tengah dengan rela menyediakan fasilitas pangkalan militer AS yang justru digunakan untuk menyerang negeri-negeri Muslim seperti Afganistan dan Irak.
Tanpa Daulah Khilafah Islamiyah pula hukum-hukum Allah-terutama dalam masalah sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan-menjadi terlantar. Padahal, setiap penelantaran terhadap hukum Allah terbukti telah menyengsarakan kaum Muslim. Kenyataan itu telah tampak jelas di tengah-tengah kita sekarang ini. Secara politik mereka tunduk di bawah permainan politik negara-negara Barat penjajah. Secara ekonomi sebagian besar negeri-negeri Islam termasuk ke dalam kategori negara-negara berkembang dan miskin. Sebab, kekayaan alam mereka dibiarkan diekploitasi untuk kepentingan penjajah Barat. Pada saat yang sama, banyak negeri Islam yang kaya, seperti Indonesia, dijerat utang luar negeri yang sengaja dipasang oleh IMF dan Bank Dunia. Akibatnya, mereka tak berkutik di hadapan kepentingan kapitalisme Barat.
Sementara itu, di bidang pemerintahan, hampir sebagian besar negeri-negeri Islam mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi yang kufur. Padahal, demokrasilah sesungguhnya yang menjadi pemicu utama terjadinya berbagai konflik antar sesama kaum Muslim, khususnya antara rakyat dan penguasa mereka. Di bidang pendidikan negeri-negeri Islam dipaksa menyelenggarakan pendidikan sekular yang kemudian mencetak generasi-generasi Islam yang bukan saja jauh dari akar Islam, tetapi malah membenci Islam. Mereka menjadi generasi yang lebih menyakini ide-ide penjajah Barat dibandingkan dengan ide-ide yang berasal dari Islam.
Semua hal di atas tentu saja menjadi ironis sekaligus merupakan tragedi bagi kaum Muslim di tengah-tengah pergantian Tahun Hijrah -sebagai simbol kebangkitan Islam dan kaum Muslim- yang berlangsung setiap tahun.
Namun demikian, ketiadaan Daulah Khilafah Islamiyah sesungguhnya bukan hanya mengakibatkan penderitaan umat Islam, tetapi juga melahirkan nestapa bagi seluruh umat manusia di dunia. Saat tidak dipimpin oleh Islam, tetapi dipimpin oleh Barat yang kapitalis, dunia mengalami penderitaan yang luar biasa dalam berbagai bidang. Berbagai krisis global terjadi saat ini, mulai dari masalah kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, kebo-dohan sampai pada konflik dan ancaman.
Tahun Baru Hijrah tampaknya bisa dijadikan momentum yang tepat bagi umat Islam untuk melakukan instrospeksi (muhâsabah), setidaknya dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1. Apakah dari tahun ke tahun kondisi umat Islam semakin baik?
2. Sudahkah umat Islam mampu mengalahkan dan membinasakan kekufuran yang dipimpin oleh para kapitalis/demokrasi ?
3. Sudahkah kita berusaha menunaikan kewajiban untuk mewujudkan kembali institusi Kekhilafahan Islam sekaligus membaiat seorang Khalifah bagi seluruh kaum Muslim?
4. Sudahkah seluruh hukum-hukum Allah diterapkan di tengah-tengah umat Islam?
5. Jika jawabannya, "Tidak," jelas pergantian demi pergantian Tahun Hijrah tidak akan banyak berarti bagi umat Islam. Pergantian demi pergantian Tahun Hijrah bahkan mungkin hanya akan menjadi saksi dari keterpurukan demi keterpurukan umat Islam yang semakin dalam. Padahal kaum mukmin adalah orang yang diberi kemulyaan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:
Kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul, dan orang-orang Mukmin. (Qs. al-Munafiqun [63]: 8).
Tahun baru Hijrah: Harapan akan Kebangkitan Umat yang Shahih.
Dalam kitab an-Nahdhah, Syaikh Hafidz Shalih mendefinisikan an-nahdhah sebagai: "berpindahnya suatu umat, atau bangsa, atau individu dari suatu keadaan kepada keadaan yang lebih baik." Selanjutnya bahwa suatu umat, bangsa, atau individu yang bangkit adalah mereka yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang tinggi (al-fikr ar-raqi'). Sejalan dengan itu, dalam kitab hadits ash-Shiyam, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, menyebut an-nahdhah adalah meningkatnya taraf berpikir (al-irtifa al-fikr).
Oleh arena itu, apabila kita hendak membangkitkan umat, mewujudkan umat yang nâidhah, yang harus kita benahi adalah cara berpikir umat, agar memiliki taraf berpikir yang tinggi yang sejajar bahkan lebih tinggi dari bangsa dan umat lain di seluruh dunia.
Adakalanya an-Nahdhah, menjadi benar dan ada yang tidak benar. Kebangkitan yang benar (an-nahdhah ash-shahihah) dan kebangkitan yang tidak benar (an-nahdhah ghairu shahihah). An-Nahdhah ash-shahihah akan menghasilkan kerahmatan bagi seluruh alam berupa ketinggian, kesejahteraan, keadilan dan kebahagiaan. Adapun an-nahdhah ghairu shahihah akan menghasilkan ketinggian, keangkuhan, kecongkakan dan kesewenang-wenangan yang dikemas dengan penipuan sehingga tampak seperti keagungan dan kebijaksanaan. Kebangkitan yang terakhir ini biasanya tidak akan bertahan lama, lambat laun ia akan hancur.
An-nahdhah ah-shahihah adalah kebangkitan yang ditegakkan atas asas ruhiy, artinya kebangkitan yang dibangun dengan landasan pemikiran yang mengaitkan segala aktivitas manusia dengan Allah SWT sebagai al-Khalik wa al-Mudabbir, yakni dikaitkan dengan perintah dan larangan-Nya. Kebangkitan yang tidak ditegakkan atas asas ruhiy adalah kebangkitan yang tidak shahih. Sebagai contoh adalah kebangkitan partai Bolsyevik Uni Sovyet pada tahun 1917 yang telah runtuh pada awal tahun 90-an. Demikian juga kebangkitan bangsa-bangsa Barat sejak abad ke-18 yang kini sedang mempercepat langkah menuju kehancuran.
Satu-satunya kebangkitan yang benar adalah kebangkitan yang dilandasi oleh akidah Islamiyah, karena kebangkitan itu sajalah yang merupakan peningkatan taraf berpikir yang ditegakkan atas asas ruhiy, yakni atas kalimat LA ILAHA ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH. Allah SWT pun menjamin tegaknya kalimat-Nya dan kehancuran kalimat kufur sebagaimana firmna-Nya:
Dan Allah menjadikan kalimat orang-orang kafir itulah yang rendah dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Qs. at-Taubah [9]: 40).
Prihatin. Di tingkat global negeri-negeri Islam menjadi obyek penjajahan gaya baru dari bangsa Barat. Irak dan Afganistan porak-poranda oleh AS dan sekutunya. Palestina tetap dalam cengkeraman Zionis Israel. Konflik terjadi di berbagai negeri Islam karena intrik dan kepentingan negara asing terhadap potensi-potensi strategisnya. Di negeri-negeri Barat diskriminasi atas umat Islam yang minoritas juga menjadi pemandangan saban hari. Sebaliknya, di negeri-negeri Islam sendiri kaum Muslim berada dalam tawanan penguasanya sekalipun mereka mayoritas. Negeri-negeri Islam masih terpecah-belah dan dipasung dalam ‘ashabiyah modern yang disebut nasionalisme.
Di dalam negeri, sepanjang tahun 1430 H (2009 M) nasib umat Islam belum berubah, sekalipun sudah berganti DPR, dan lahir kabinet pemerintahan baru. Inilah fakta sepanjang tahun 2009 (1430H) yang berlalu. Negeri yang oleh para pujangga dulu disebut zamrud khatulistiwa ini juga tetap diwarnai oleh banyak sekali bencana berupa gempa bumi, banjir dan tanah longsor. Bencana tersebut menyisakan sebuah ironi. Selain karena faktor manusia, bencana terjadi karena qudrah (kekuatan) dan irâdah (kehendak) Allah SWT. Karenanya, kita sering diajak berdoa agar terhindar dari segala bencana. Namun anehnya, mengapa pada saat yang sama kita tidak juga mau tunduk dan taat kepada Allah dalam kehidupan kita? Buktinya, hingga kini masih sangat banyak larangan Allah (riba, pornografi, kezaliman, ketidakadilan, korupsi dan sebagainya) yang dilanggar; masih sangat banyak pula kewajiban Allah (penerapan syariah, zakat, ‘uqûbat, shalat, haji, dan sebagainya) yang tidak dilaksanakan. Haruskah ada bencana yang lebih besar lagi untuk menyadarkan kita agar segera tunduk dan taat kepada Allah? Tentu tidak.
Jika demikian, ada beberapa catatan penting sebagai bahan muhâsabah (renungan) kita semua terkait dengan berbagai situasi dan kondisi yang meliputi kehidupan umat Islam saat ini di berbagai belahan dunia dan di negeri Indonesia khususnya.
Wahai kaum mulsimin
Kebangkitan sudah di pelupuk mata, penegakan syariat Islam sudah dirindukan umat. Marilah kita berjuang serius untuk Islam. Ingatlah firman Allah SWT:
Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Qs. ar-Ra'd [13]: 11).
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Qs. Muhammad [47]: 7).
Related Article:
0 comments:
Posting Komentar