Who Else Wants to Learn Arabic So They Can Speak Arabic Confidently and Naturally?

Halaman

SEJARAH TATA NEGARA ISLAM Dan Sistem Pemerintahan Masa Rasulullah Muhammad saw Pada Daulah Islam Madinah Al Munawarah


Masalah Islam dan Tata Negara menurut Munawir Syadzali, dalam bukunya Islam dan Tata Negara, di kalangan umat Islam sampai saat ini terdapat tiga aliran tentang pemikiran hubungan antara Islam dan ketatanegaraan.

Pertama, Islam agama yang sempurna, lengkap dengan pengaturan segala aspek kehidupan termasuk dalam bernegara. Dalam bernegara harus memakai sistem ketatanegaraan Islam, tidak meniru ketatanegaraan barat.

Kedua, Islam agama seperti pengertian barat, tidak ada hubungan dengan urusan kenegaraan. Nabi diutus untuk menuju kehidupan mulia menjunjung budi pekerti luhur, dan tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara.

Ketiga, menolak Islam sebagai agama yang lengkap tapi juga menolak Islam sebagai pengertian barat yang hanya menyalurkan hubungan mansusia dengan Tuhan. Islam menurut aliran ini tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika kehidupan bernegara.

Menurut penulis, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, pendiri dan amir pertama Hizbut Tahrir, termasuk kategori pertama menurut penggolongan Munawir, bahwa ketatanegaraan Islam jelas konsep itu ada di dalam Islam. Islam membawa aturan pemimpin yang mampu menyelesaikan seluruh problem interaksi di dalam negara dan masyarakat baik dalam masalah pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan maupun politik, di dalam maupun di luar negeri.

Hal itu dapat dilihat dari karya An-Nabhani yang berjudul Nidzamul Hukmi fil Islam diterjemahkan oleh Moh. Maghfur Wachid menjadi Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah dan Realitas Empirik.

Buku yang pertama kali terbit pada 1950 ini, oleh Amir kedua Hizbut Tahrir Syaikh Abdul Qadim Zallum, dikatakan muncul di saat pemikiran barat sangat mencengkeram pemikiran kaum terpelajar putra-putri Muslim, bahwa Islam adalah agama monastisme (kependetaan) bahwa Islam tidak punya sistem pemerintahan bagi sebuah negara dan negaranya merupakan negara yang religius spriritualis.

Dalam buku tersebut ditegaskan bahwa bentuk pemerintahan Islam bukan monarki karena tidak ada pewarisan kepada putra mahkota juga bukan sistem republik dengan pilar sistem demokrasi yang kedaulatannya di tangan rakyat.

Pemerintahan Islam juga bukan kekaisaran yang memberi keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di wilayah pusat. Juga bukan sistem federal yang membagi wilayah dalam otonomi.

Sistem pemerintahan dalam Islam adalah khilafah. Ijma’ shahabat pun telah sepakat bahwa khilafah adalah negara kesatuan, tidak boleh berba’iat selain kepada khalifah dan bila dibai’at dua orang khalifah, maka yang pertamalah yang sah.


Pilar-pilar pemerintahan Is-lam ada empat. Pertama, kedau-latan di tangan syara’ , bukan di tangan umat. Yang menangani dan mengendalikan aspirasi individu adalah syara’ berupa perintah dan larangan Allah SWT. bukan dikendalikan individu itu sendiri dengan sesukanya.

Kedua, kekuasaan di tangan umat dengan cara bai’at yang diberikan oleh kaum Muslim, bukan oleh khalifah kepada kaum Muslim, karena kaum Muslimlah yang sebenarnya mengangkat khalifah sebagai penguasa mereka.

An-Nabhani mendeskrip-sikan sistem khalifah dengan segala persyaratan, bentuk, struk-tur, dan tata cara mengangkat, menurunkan khalifah yang meru-pakan salah satu upaya menjawab kebutuhan umat akan adanya konsepsi utuh tentang ketata-negaraan yang sebenarnya sudah menjadi keyakinan umat Islam. Bukan hanya itu, ia pun berjuang untuk membumikan sistem itu hingga akhir hayatnya dengan terus berdakwah. Karena dakwah adalah cara yang tepat untuk terus menyamakan persepsi umat. Dan kini, itu tugas kita semua.
sistem politik Islam memang berbeda dengan sistem-sistem politik lainnya. Satu perkara yang paling penting dalam sistem politik Islam adalah bahwa kedaulatan itu tidak di tangan rakyat maupun Kepala Negara, melainkan ditangan syara’. Hanya saja pesan-pesan syara’ yang sifatnya ilahi itu tidak dimonopoli oleh Kepala Negara (khalifah) dan tidak dimanipulasi oleh tokoh agama karena kedudukan seluruh kaum muslimin di depan syara’ (baik dari segi hukum maupun kewajibannya) adalah sama. Oleh karena itu, meskipun kekuasaan dan wewenang pelaksanaan politik itu terpusat kepada khalifah, tidak menyebabkan kelemahan negara Islam, malah justru memperkuatnya.
Kekuasaan khalifah adalah kekuasaan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum syariat Islam. Kontrol pelaksanaan hukum dan mekanismenya yang mudah serta tolok ukur yang jelas (yakni nash-nash syara’) telah menjadikan daulah ini kokoh dan tegak menjadi rahmat bagi seluruh dunia selama berabad-abad.
Sepakatlah semua pemikir muslim bahwa Madinah adalah negara Islam yang pertama, dan apa yang dilakukan Rasulullah setelah hijrah dari Makkah ke Madinah adalah memimpin masyarakat Islam dan memerankan dirinya bukan hanya sebagai Rasul semata tetapi juga sebagai kepala negara Islam Madinah.

Landasan Politik di Masa Rasulullah

Langkah-langkah Rasulullah dalam memimpin masyarakat setelah hijrahnya ke Madinah, juga beberapa kejadian sebelumnya, menegaskan bahwa Rasulullah adalah kepala sebuah masyarakat dalam apa yang disebut sekarang sebagai negara. Beberapa bukti bisa disebut, diantaranya:





1. Bai’at Aqabah
Pada tahun kesebelas kenabian, enam orang dari suku Khajraz di Yathrib bertemu dengan Rasululah di Aqabah, Mina. Mereka datang untuk berhaji. Sebagai hasil perjumpaan itu, mereka semua masuk Islam. Dan mereka berjanji akan mengajak penduduk Yathrib untuk masuk Islam pula. Pada musim haji berikutnya, dua belas laki-laki penduduk Yathrib menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka, selain masuk Islam, juga mengucapkan janji setia (bai’at) kepada Nabi untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, serta tidak mengkhianati Nabi. Inilah Bai’at Aqabah Pertama. Kemudian pada musim haji berikutnya sebanyak tujuh puluh lima penduduk Yathrib yang sudah masuk Islam berkunjung ke Makkah. Nabi menjumpai mereka di Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan bai’at juga, yang isinya sama dengan bai’at yang pertama, hanya saja pada yang kedua ini ada isyarat jihad. Mereka berjanji akan membela Nabi sebagaimana membela anak istri mereka, bai’at ini dikenal dengan Bai’at Aqabah Kedua.
Kedua bai’at ini menurut Munawir Sadjali (Islam dan Tata Negara, 1993) merupakan batu pertama bangunan negara Islam. Bai’at tersebut merupakan janji setia beberapa penduduk Yathrib kepada Rasulullah, yang merupakan bukti pengakuan atas Muhammad sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai Rasul, sebab pengakuan sebagai Rasulullah tidak melalui bai’at melainkan melalui syahadat. Dengan dua bai’at ini Rasulullah telah memiliki pendukung yang terbukti sangat berperan dalam tegaknya negara Islam yang pertama di Madinah. Atas dasar bai’at ini pula Rasulullah meminta para sahabat untuk hijrah ke Yathrib, dan beberapa waktu kemudian Rasulullah sendiri ikut Hijrah bergabung dengan mereka.
2. Piagam Madinah
Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah hijrah ke Yathrib, yang kemudian berubah menjadi Madinah. Di Madinahlah untuk pertama kali lahir satu komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi Muhammad, Penduduk Madinah ada tiga golongan. Pertama kaum muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, dan ini adalah kelompok mayoritas. Kedua, kaum musyrikin, yaitu orang-orang suku Aus dan Kharaj yang belum masuk Islam, kelompok ini minoritas. Ketiga, kaum Yahudi yang terdiri dari empat kelompok. Satu kelompok tinggal di dalam kota Madinah, yaitu Banu Qunaiqa. Tiga kelompok lainnya tinggal di luar kota Madinah, yaitu Banu Nadlir, Banu Quaraizhah, dan Yahudi Khibar. Jadi Madinah adalah masyarakat majemuk. Setelah sekitar dua tahun berhijrah Rasulullah memaklumkan satu piagam yang mengatur hubungan antar komunitas yang ada di Madinah, yang dikenal dengan Piagam (Watsiqah) Madinah.Inilah yang dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia. Piadam Madinah ini adalah konstitusi negara yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam.






3. Peran Sebagai Kepala Negara
a. Dalam negeri
Sebagai Kepala Negara, Rasulullah sadar betul akan arti pengembangan sumber daya manusia, dan yang utama sehingga didapatkan manusia yang tangguh adalah penanaman aqidah dan ketaatan kepada Syariat Islam. Di sinilah Rasulullah, sesuai dengan misi kerasulannya memberikan perhatiaan utama. Melanjutkan apa yang telah beliau ajarkan kepada para sahabat di Makkah, di Madinah Rasul terus melakukan pembinaan seiring dengan turunnya wahyu. Rasul membangun masjid yang dijadikan sebagai sentra pembinaan umat. Di berbagai bidang kehidupan Rasulullah melakukan pengaturan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT. Di bidang pemerintahan, sebagai kepala pemerintahan Rasulullah mengangkat beberapa sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar manajemen pengaturan masyarakat berjalan dengan baik. Rasul mengangkat Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebagai wajir. Juga mengangkat beberapa sahabat yang lain sebagai pemimpin wilayah Islam, diantaranya Muadz Bin Jabal sebagai wali sekaligus qadhi di Yaman.
b. Luar Negeri
Sebagai Kepala Negara, Rasulullah melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain. Menurut Tahir Azhari (Negara Hukum, 1992) Rasulullah mengirimkan sekitar 30 buah surat kepada kepala negara lain, diantaranya kepada Al Muqauqis Penguasa Mesir, Kisra Penguasa Persia dan Kaisar Heraclius, Penguasa Tinggi Romawi di Palestina. Nabi mengajak mereka masuk Islam, sehingga politik luar negeri negara Islam adalah dakwah semata, bila mereka tidak bersedia masuk Islam maka diminta untuk tunduk, dan bila tidak mau juga maka barulah negara tersebut diperangi.

Hubungan Rakyat dan Negara

Peran Rakyat

Dalam Islam sesungguhnya tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara, karena negara didirikan justru untuk kepentingan mengatur kehidupan rakyat dengan syariat Islam. Kepentingan tersebut yaitu tegaknya syariat Islam secara keseluruhan di segala lapangan kehidupan. Dalam hubungan antara rakyat dan negara akan dihasilkan hubungan yang sinergis bila keduanya memiliki kesamaan pandangan tentang tiga hal (Taqiyyudin An Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, 1997), pertama asas pembangunan peradaban (asas al Hadlarah) adalah aqidah Islam, kedua tolok ukur perbuatan (miqyas al ‘amal) adalah perintah dan larangan Allah, ketiga makna kebahagiaan (ma’na sa’adah) dalam kehidupan adalah mendapatkan ridha Allah. Ketiga hal tersebut ada pada masa Rasulllah. Piagam Madinah dibuat dengan asas Islam serta syariat Islam sebagai tolok ukur perbuatan.
Adapun peran rakyat dalam negara Islam ada tiga, pertama melaksanakan syariat Islam yang wajib ia laksanakan, ini adalah pilar utama tegaknya syariat Islam, yakni kesediaan masing-masing individu tanpa pengawasan orang lain karena dorongan taqwa semata, untuk taat pada aturan Islam, kedua, mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh negara dan jalannya penyelenggaraan negara, ketiga, rakyat berperan sebagai penopang kekuatan negara secara fisik maupun intelektual, agar menjadi negara yang maju, kuat, disegani di tengah-tengah percaturan dunia. Di sinilah potensi umat Islam dikerahkan demi kejayaan Islam (izzul Islam wa al Muslimin).

 

Aspirasi Rakyat

Dalam persoalaan hukum syara’, kaum muslimin bersikan sami’ na wa atha’na. Persis sebagaimana ajaran al Qur’an, kaum muslimin wajib melaksanakan apa saja yang telah ditetapkan dan meninggalkan yang dilarang. Dalam masalah ini Kepala Negara Islam menetapkan keputusannya berdasarkan kekuatan dalil, bukan musyawarah, atau bila hukumnya sudah jelas maka tinggal melaksanakannya saja. Menjadi aspirasi rakyat dalam masalah tasyri’ untuk mengetahui hukum syara’ atas berbagai masalah dan terikat selalu dengannya setiap waktu. Menjadi aspirasi mereka juga agar seluruh rakyat taat kepada syariat, dan negara melaksanakan kewajiban syara’nya dengan sebaik-baiknya. Rakyat akan bertindak apabila terjadi penyimpangan.
Di luar masalah tasyri’, Rasulullah membuka pintu musyawarah. Dalam musyawarah kada Rasulullah mengambil suara terbanyak, kadang pula mengambil pendapat yang benar karena pendapat tersebut keluar dari seorang yang ahli dalam masalah yang dihadapi. Dan para sahabat pun tidak segan-segan mengemukakan pendapatnya kepada Rasulullah, setelah mereka menanyakan terlebih dahulu apakah hal ini wahyu dari Allah atau pendapat Rasul sendiri.

Penegakkan Hukum

Hukum Islam ditegakkan atas semua warga, termasuk non muslim di luar perkara ibadah dan aqidah. Tidak ada pengecualian dan dispensasi. Tidak ada grasi, banding, ataupun kasasi. Tiap keputusan Qadhi adalah hukum syara’ yang harus dieksekusi. Peradilan berjalan secara bebas dari pengaruh kekuasaan atau siapapun.

Kesimpulan

1. Madinah adalah negara Islam pertama dengan Muhammad Rasulullah sebagai kepala negara. Praktek kenegaraan di segala bidang berjalan dengan baik
2. Tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara. Keduanya adalah pilar penopang tegaknya hukum Allah dan penentu tegaknya Izzul Islam wa al muslimin
3. Yang disebut sebagai aspirasi rakyat dalam negara Islam adalah terlaksananya serta terselenggaranya pemerintah dengan sebaik-baiknyademi tercapainya tujuan dakwah Islam. Di luar masalah tasyri’, menjadi tuntunan Islam keputusan diambil dengan musyawarah baik berdasarkan suara terbanyak atau pendapat yang paling benar. Demi terselenggaranya praktek kenegaraan dengan baik, penting sekali peran muhasabah (koreksi) dari rakyat kepada penguasa
4. Hukum dijalankan atas semua warga, tanpa kecuali. Tidak ada grasi, amnesti, dispensasi, banding atau kasasi. Keputusan qadhi adalah tinggal yang wajib dilaksanakan



Related Article:

2 comments:

Firdiansyah mengatakan...

Berita yang bagus

qiya nafsyah mengatakan...

sangat bermanfaat,,,,,


 
Copyright 2010 skooplangsa. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog