Who Else Wants to Learn Arabic So They Can Speak Arabic Confidently and Naturally?

Halaman

IMAM AL-MAWARDI

IMAM AL-MAWARDI


Khazanah intelektual Islam era kekhalifahan Abbasiyah pernah mengukir sejarah emas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran keagamaan. Salah satu tokoh terkemuka sekaligus pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam penyangga kemajuan Abbasiyah itu adalah Al Mawardi. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini, menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). Nama lengkap ilmuwan Islam ini adalah Abu al Hasan Ali bin Habib al Mawardi. Alboacen. Begitu peradaban Barat biasa menyebut pemikir dan pakar ilmu politik termasyhur di era Kekhalifahan Abbasiyah ini. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum mazhab Syafi’i yang terkenal. Pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusastraan dari Abdullah al Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika dan sastra. Di mata raja-raja Bani Buwaih, Al-Mawardi mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi. Ia hidup pada masa pemerintahan dua khalifah: Al-Qadir Billah (381-422 H) dan Al-Qa’imu Billah (422-467 H). Wafat pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.
B. Karya-karya Al-Mawardi
Mawardi termasuk penulis yang produktif. Cukup banyak karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu, dari ilmu bahasa sampai sastra, tafsir, fiqh dan ketatangeraan. Salah satu bukunya yang paling terkenal, termasuk di Indonesia adalah Adab al-Duniya wa al-Din (Tata Krama Kehidupan Duniawi dan Agamawi). Selain itu, karya-karyanya dalam bidang politik adalah Al-Ahkamu As-Sulthaniyah (Peraturan-peraturan Kerjaan/pemerintahan), Siyasatu Al-Wazarati wa Siyasatu Al-Maliki (Ketentuan-ketentuan Kewaziran, Politik Raja), Tashilu An-Nadzari wa Ta’jilu Adz-Dzafari fi Akhlaqi Al-Maliki wa Siyasati Al-Maliki, Siyasatu Al-Maliki, Nashihatu Al-Muluk.
Karya lainnya adalah Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum mazhab Syafi’i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji buku ini. Buku ini terdiri 8.000 halaman, diringkas oleh Al Mawardi dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.
C. Pemikiran Politik Al Mawardi
Sebagaimana Plato, Aristoteles dan Ibnu Abi Rabi’, Mawardi juga berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, yang saling bekerjasama dan membantu satu sama lain, tetapi ia memasukkan agama dalam teorinya. Menurutnya kelemahan manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhannya sendiri dan terdapatnya keanekaragaman dan perbedaan bakat, pembawaan, kecendrungan alami serta kemampuan, semua itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling membantu. Dari sinilah akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan Negara. Dengan demikian, adanya Negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Karena itu Mawardi berpendapat, bahwa kepala Negara merupakan lingkup garapan khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan mengarur dunia dan mengesahkannya.
D. Sistem Pemerintahan
Situasi politik di dunia Islam pada masa hidupnya al-Mawardi, sama jeleknya dengan masa hidupnya al-Farabi, bahkan lebih kalut. Tetapi pendekatan Mawardi tidak sama dengan Farabi. Kalau sebagai reaksi terhadap situasi politik pada zamannya Farabi mengembangkan teori politik yang serba sempurna – yang demikian sempurna sehingga tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh dan untuk umat manusia yang bukan malaikat, maka Mawardi tidak demikian halnya. Dia mendasarkan teori politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan atau formasi, misalnya dengan mempertahankan status quo.[1] Dia menekankan bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy dan begitu juga dengan pembantu khalifah lainnya.
Upaya Mawardi mempertahankan etnis Quraisy, secara kontekstual interpretatif dapat dikatakan, bahwa hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Maka mengutamakan etnis Quraisy memang bukan ajaran dasar agama islam yang dibawa Rasulullah, karena itu hadist-hadist yang mengutamakan etnis Quraisy harus dipahami sebagai ajaran yang bersifat temporal.
E. Tentang Wazir
Al-Mawardi membagi wazir menjadi dua bentuk[2], pertama wazir tafwidh, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan berbagai kebijaksanaan kenegaraan. Ia juga merupakan koordinator kepala-kepala departeman. Wazir ini dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri. Karena besarnya kekuasaan wazir tawfidh ini, maka orang yang menduduki jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan khalifah. Kedua, wazir tanfidz, yaitu wazir yang hanya bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan yang digariskan oleh wazir tawfidh. Ia tidak berwenang menentukan kebijaksanaan sendiri.
Pada masa pemerintahan al-Mu’tashim, ketika khalifah tidak begitu berkuasa lagi, wazir-wazir berubah fungsi menjadi tentara pengawal yang terdiri dari orang-orang Turki. Begitu kuatnya kekuasaan mereka di pusat pemerintahan (Baghdad), sehingga khalifah hanya menjadi boneka. Mereka dapat mengangkat dan menjatuhkan khalifah sekehendak hatinya. Panglima tentara pengawal yang bergelar Amir al-Umara’ atau Sulthan inilah pada dasarnya yang berkuasa di ibukota pemerintahan. Khalifah-khalifah tunduk pada kemauan mereka dan tidak bisa berbuat apa-apa. Namun yang menarik, panglima tersebut tidak berani mengadakan kudeta merebut kursi kekhalifahan dari keluarga Abbasiyyah, meskipun khalifah sudah lemah dan tidak berdaya.
Padahal kesempatan dan kemampuan untuk itu mereka miliki. Barangkali pandangan Sunni tentang al-Aimmah min Quraisy (kepemimpinan umat dipegang oleh suku Quraisy) tetap mereka pegang teguh. Mereka merasa tidak syar’i kalau menjadi khalifah karena bukan termasuk keturunan Quraisy. Kalau mereka melakukan kudeta merebut kekuasaan, tentu akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka merasa lebih aman berperan di belakang layar mengendalikan khalifah.
F. Teori Kontrak Sosial
Manusia itu merupakan mahluk sosial, yang saling bekerjasama dan membantu satu sama lain, tetapi ia memasukkan agama dalam teorinya. Dari sinilah akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan Negara
Adanya Negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Karena itu Mawardi berpendapat, bahwa kepala Negara merupakan lingkup garapan khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan mengarur dunia dan mengesahkannya.
Menurut Al-Mawardi manusia adalah makhluk yang paling memerlukan bantuan pihak lain dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Oleh karena banyak binatang misalnya yang sanggup hidup sendiri dan mandii lepas dari binatang sejenisnya, sedangkan manusia selalu memerlukan manusia lain. Dan ketergantungannya satu sama lain merupakan suatu yang
G. Imamah (Kepemimpinan)
Imam (yang dalam pemikiran al mawardi adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya.Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi, yaitu: Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqdi) Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model Al Ikhtiar. [3] Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern.
1. Syarat Imam
ò Adil dengan syarat universal
ò Berilmu untuk berijtihad
ò Sehat indrawi (telinga, mata dan mulut)
ò Sehat organ tubuh dari cacat yang menghalangi bertindak sempurna dan cepat
ò Berwawasan luas
ò Berani dan ksatria
ò Keturunan Quraisy
2. Masalah Pemecatan Seorang Imam
Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat.
Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan). Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan.
Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.


3. Imamah dianggap sah dengan dua cara:
1. Pemilihan oleh Ahlu Al-Aqdi wa Al-Hall
2. Penunjukan oleh Imam sebelumnya
4. Pemilihan oleh Ahlu Al-Aqdi wa Al-Hall
ü Minimal Ahlu Al-Aqdi wa Al-Hall —– 5 orang.
ü Hal ini mengacu pada dua hal, yaitu:
ü pengangkatan Abu Bakar yang dibaiat oleh 5 orang (Umar ibn Khattab, Abu Ubaidah ibn Al-Jarrah, Usaid ibn Hudhair, Bisyr ibn Sa’ad, dan Salim);
ü Umar ibn Khattab membentuk lembaga syura yang beranggotan 6 orang, kemudian salah seorang diangkat sebagai imam
5. Penunjukan imam oleh imam (khalifah) sebelumnya berdasarkan dua hal:
o Abu Bakar menunjuk Umar ibn Khattab sebagai imam penggantinya
o Umar mengamanatkan masalah imamah kepada lembaga syura.
o Jika penunjukan itu bukan kepada anak kandung atau ayah kandung, maka ia dibenarkan membaitnya, tanpa konsultasi dengan Ahlu Al-Aqdi wa Al-Hall
6. Jika calon imam adalah anak/ayah kandung, maka ada 3 pendapat:
Ia (imam) tidak boleh membaiat sendiri, tanpa konsultasi dengan Ahlu Al-Aqdi wa Al-Hall anak/ayah tidak bisa jadi saksi
Ia (imam) dibenarkan membaiat sendiri, tanpa konsultasi dengan Ahlu Al-Aqdi wa Al-Hall ia adalah imam yang berwenang memutuskan
Ia dibenarkan membaiat sendiri terhadap ayah kandungnya, tetapi tidak boleh kepada anak kandungnya
watak manusia lebih berpihak pada anak
7. Tugas seorang imam (khalifah) ada 10 macam:
1. melindungi/menjaga keutuhan agama
2. menerapkan hukum pada para pihak yang berperkara (masalah perdata)
3. melindungi wilayah negara dan tempat suci
4. menegakkan supremasi hukum (hudud) (masalah pidana)
5. melindungi daerah perbatasan dengan benteng yang kokoh
6. memerangi para penentang Islam, setelah mereka didakwahi & masuk Islam atau dalam perlindungan kaum muslimin (ahlu dzimmah)
7. mengambil fai’ (harta yang diperoleh kaum muslimin tanpa peperangan) dan sedekah sesuai dengan kewajiban syariat
8. menentukan gaji, dan apa saja yang diperlukan dalam kas negara tanpa berlebihan
9. mengangkat orang-orang terlatih dalam tugas-tugas kenegaraan (mis: orang jujur yang mengurusi keuangan, dsb)
10. terjun langsung untuk menangani berbagai persoalan dan menginspeksi keadaan
H. Pengaruh Al Mawardi
Pengaruhnya ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibn Khaldun. Khaldun, yang diakui sebagai peletak dasar sosiologi, dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi Al Mawardi dalam banyak hal.
I. Pendapat Tokoh lain mengenai Al-Mawardi
Menurut Azyumardi Azra,[4] Al-Mawardi memberikan gambaran ideal mengenai kekhalifahan. Namun diklaim bahwa para pemikir ini sama sekali tidak membuat sistem politik atau garis-garis besar aturan pemerintahan yang komprehensif, melainkan sekedar membuat gambaran ideal moral bagi para penguasa dan kekuasaannya. Diawali dengan pemikiran mengenai proses terbentuknya negara, para ahli mendominasi pemikiran dari alam pikiran Yunani, bahwa manusia adalah makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain guna memenuhi hajat dalam kehidupan. Ditambah dengan pernyataan-pernyataan lanjutan yang kelihatannya terjadi satu sama lain antara satu tokoh dengan tokoh yang lain, namun dalam pola piker para ahli juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, namun dalam pola pikir para ahli juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, seperti Al-Mawardi yang menganggap proses berdirinya negara bukan hanya didasari sekadar untuk membentuk regenarasi manusia pada satu komunitas. Namun juga untuk mengingatkan manusia pada Allah, bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang lemah, karenanya saling membutuhkan.
J. Penutup
Al-Mawardi menunjukkan betapa aturan agama dan teori kekhalifahan Sunni yang telah diterima dapat ditafsir ulang dan dikembangkan sedemikian rupa, sehingga mengabaikan hubungan kekuasaan yang ad. Teorinya membuat para penguasa (lokal) secara tekhnis bergantung kepada persetujuan Khalifah demi legitimasi mereka. Ia meletakkan dasar-dasar intelektual bagi kebangkitan kembali Kekhalifahan Abbasiyah, yang sangat mungkin menjadi lebih luas lagi, kecuali bagi orang Mongol. Namun pada kenyataannya, sebagian besar teori ini bertahan sebagai wacana teoritis, teori ini tidak pernah diuji dalam kenyataannya.
Dalam banyak hal, khususnya dalam konteks demokrasi dan politik modern, sulit rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Al Mawardi secara penuh. Barangkali, hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan pengangkatan seorang imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun demikian, wacana Al Mawardi ini sangat berbobot ketika diletakkan sebagai antitesis dari kegagalan teori demokrasi, dan sumbangan khazanah berharga bagi perkembangan politik Islam modern.

Related Article:

1 comments:

Anonim mengatakan...

salam.. boleh x sya mahu mndapatkn maklumat yg detail tntg imam mawardi??a


 
Copyright 2010 skooplangsa. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog