Who Else Wants to Learn Arabic So They Can Speak Arabic Confidently and Naturally?

Halaman

sejarah khilafah

Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam untuk umat Islam sedunia. Para fukaha men-ta‘rif-kan Khilafah sebagai: ri’âsat[un] ‘âmmat[un] li al-muslimîn jamî‘[an] fî ad-dunyâ li iqâmati ahkâmi syar‘i al-Islâmi wa hamli ad-da‘wah al-islâmiyyah ilâ al-‘âlam (kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum syariah Islam dan mengemban dakwah ke seluruh dunia).
Dengan demikian, Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam sebagaimana sistem pemerintahan republik, kerajaan, kekaisaran, dan lain-lain. Hanya saja, selama ini literatur-literatur yang diajarkan di sekolah atau perguruan tinggi seolah-olah telah sengaja tidak mau menyebut Khilafah sebagai suatu sistem pemerintahan. Biasanya yang diajarkan adalah republik yang merupakan lawan dari kerajaan, sistem demokrasi yang merupakan lawan dari totaliter, atau sistem demokrasi liberal dari kalangan kapitalis yang merupakan lawan dari demokrasi rakyat/proletariat dari kalangan sosialis-komunis. Para akademisi seolah-olah menganggap sistem Khilafah itu tidak pernah ada.
Padahal sistem Khilafah itu tegak sejak pemerintahan yang diwariskan oleh Baginda Rasulullah saw. kepada kaum Muslim (Beliau menyebutkan dalam hadis bahwa yang akan memerintah setelah beliau adalah para khalifah) generasi pertama, yakni Khulafaur Rasyidin pada abad ke tujuh, hingga khalifah terakhir pada masa Khilafah Utsmaniyah jatuh pada tahun 1924. Bagaimana mungkin negara yang terus-menerus tegak, walau mengalami jatuh-bangun, hingga 13 abad tanpa suatu sistem? Padahal sistem demokrasi kapitalis yang hari ini berkuasa di muka bumi faktanya baru tegak setelah Revolusi Prancis 1789, yakni baru berumur 218 tahun. Demokrasi rakyat versi komunis pun cuma berumur tidak sampai seabad (1917-1991). Di sinilah ketidakjujuran tampak nyata! Islam dianggap agama seperti Kristen, Budha, atau yang lain yang tidak memiliki ideologi dan sistem pemerintahan.
Namun, belakangan ada fenomena menarik. Pasca Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet tahun 1991, sistem demokrasi kapitalis yang diemban negara-negara Barat yang dikomandani AS merasa perlu adanya musuh bersama yang menggantikan ideologi komunis yang diemban Uni Soviet demi menjaga kelestarian sistem mereka. Mereka merujuk Huntington, bahwa musuh yang bisa dipasang adalah Islam. Namun, karena Islam adalah agama yang dipeluk oleh sekitar 1,5 miliar kaum Muslim, tidak strategis kalau mereka mengumumkan perang secara terbuka terhadap Islam. Karena itulah, Bush mengoreksi istilah Perang Salib dengan war on terorism setelah menyerbu Afganistan tahun 2001. Selanjutnya NIC (National Inteligent Council) menyebut-nyebut bahwa salah satu skenario yang bakal muncul sebagai kekuasaan yang mendominasi dunia tahun 2020 adalah Khilafah. Bush pun tidak kuat menahan diri untuk menyatakan bahwa kaum teroris akan mendirikan imperium dari Spanyol hingga Indonesia. Pejabat militer AS juga menyebut kalau tentara AS keluar dari Irak, mereka (kaum teroris) akan menegakkan Khilafah di Irak!
Jadi, musuh utama Barat adalah Islam. Untuk menipu Dunia Islam, mereka menyatakan bahwa mereka tidak memusuhi Islam, tetapi memusuhi teroris. Teroris itu adalah mereka yang menyerukan penegakan syariah Islam dan Khilafah! Oleh karena itu, segala bentuk operasi pemberantasan terorisme di Dunia Islam, baik oleh AS dan sekutu-sekutu Baratnya maupun para kompradornya di Dunia Islam tidak akan keluar dari skenario global war on terorism yang sejatinya adalah global war on Islam!
Belakangan muncul seruan dari kalangan non-pemerintah tentang apa yang disebut dengan kewaspadaan terhadap ideologi transnasional. Yang dimaksud ideologi transnasional adalah gerakan politik dari Timur Tengah yang datang ke Indonesia yang mengatasnamakan agama. Bahkan menurut suatu sumber, secara tegas disebut bahwa gerakan politik atas nama agama tersebut adalah Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Tuduhan melakukan kekerasan ditimpakan pada gerakan-gerakan ini, termasuk Hizbut Tahrir. Jelas ini adalah kebohongan. Sebab, siapa pun di negeri ini yang benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri aktivitas Hizbut Tahrir dalam demo-demo yang digelarnya sejak AS menyerbu Afganistan tahun 2001 hingga hari ini, baik dalam skala massa besar maupun kecil, tidak akan berani menyimpulkan bahwa massa Hizbut Tahrir melakukan tindakan kekerasan. Polisi sekalipun yang biasa mendampingi aksi HTI tidak akan berani mengarang cerita seperti itu. Bahkan Kapolda Metro Jaya pada masa Irjenpol Makbul Padmanegara (sekarang Wakapolri) pernah mengeluarkan piagam penghargaan atas demonstrasi yang tertib kepada HTI. Betul, Hizbut Tahrir keras dalam memegang prinsip Islam. Namun, melakukan tindakan kekerasan dalam aksi—seperti massa pendukung partai yang calonnya kalah dalam Pilkada di Tuban—tidak pernah. Hizbut Tahrir memang tidak mengadopsi penggunaan kekuatan fisik dalam mencapai tujuannya untuk mewujudkan kehidupan Islam secara kâffah di negeri ini.
Lebih aneh lagi, dalam upaya mencegah gerakan ideologi transnasional, khususnya terhadap Hizbut Tahrir, dikembangkan fitnah oleh Harari dari Libanon (aslinya dari Habasyah) yang menyebut Hizbut Tahrir sesat. Lalu, untuk menimbulkan perlawanan masyarakat dikembangkan pula cerita bahwa Hizbut Tahrir di Jawa Timur merebut masjid-masjid NU.
Jelas, ini seperti operasi intelijen untuk menimbulkan konflik horisontal. Pasalnya, menurut syariah Islam, masjid adalah wakaf dan itu adalah milik umum (milkiyyah ‘âmmah). Siapapun kaum Muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berhak dan wajib memakmurkannya (lihat QS at-Taubah [9]: 18). Sebaliknya, siapapun tidak berhak melarang kaum Muslim manapun untuk memakmurkan masjid. Jadi, tidak tepat masjid yang statusnya wakaf itu dimiliki dan dikuasai ormas tertentu.
Jadi, dengan pemahaman tersebut, tidak akan terbersit dalam diri Hizbut Tahrir untuk mengambil-alih masjid dari pihak manapun. Faktanya, para aktivis Hizbut Tahrir menyatu dengan kaum Muslim dari aliran dan ormas manapun di negeri ini untuk mengajak berjuang bersama mengembalikan kehidupan Islam yang kâffah. Karena itu, wajar jika muncul penentangan sendiri dari warga masyarakat di Jawa Timur terhadap sosialisasi yang memojokkan Hizbut Tahrir.
Eskalasi penentangan terhadap perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah dibangkitkan seolah-olah Khilafah adalah barang asing yang berbahaya bagi umat Islam, khususnya buat umat Islam di Indonesia, hanya karena sifatnya yang transnasional. Ini jelas keliru. Sebab, bahaya-tidaknya sebuah ideologi/sistem politik tidak ditentukan oleh wataknya yang transnasional atau tidak.
Kapitalisme—yang juga bersifat transnasional—yang kemudian melahirkan imperialisme (militer, ekonomi, politik, budaya, dll) sudah terbukti membahayakan dunia. Secara empiris, nenek moyang kita juga sudah merasakan bahaya imperialisme saat Belanda menjajah negeri ini selama 3,5 abad. Saat ini pun, kita sudah merasakan pahitnya penjajahan ekonomi Barat (khususnya AS) yang telah banyak menguras kekayaan negeri ini. Karena itulah, jika saat ini ada gerakan—seperti Hizbut Tahrir—yang menolak ideologi Kapitalisme dan penjajahan Barat/AS (yang telah terbukti menimbulkan bahaya dan penderitaan luar biasa bagi bangsa ini hingga hari ini) tentu pantas didukung oleh umat, apalagi oleh para ulama waratsah al-anbiyâ!
Dalam sejarahnya yang sanagat panjang, Khilafah sesungguhnya tidak pernah terbukti menyengsarakan manusia, termasuk negeri ini. Justru Khilafahlah yang telah menyampaikan hidayah Allah kepada bangsa ini sehingga bangsa ini mayoritas memeluk Islam. Apakah belum diketahui bahwa Walisongo yang menyebarkan Islam di negeri ini adalah para ulama dari Turki dan Palestina yang dikirim oleh Khilafah? Syarif Hidayatullah, misalnya, seorang ahli tatanegara dari Turki sekaligus panglima perang yang membebaskan Jakarta dari penjajah Portugis yang kemudian menamainya Jayakarta (terjemahan dari fath[an] mubîna; artinya kemenangan yang nyata [lihat QS al-Fath: 1]) adalah salah seorang wali yang berasal dari Palestina.
Mengapa para wali dari tokoh-tokoh Walisongo tersebut dikirim oleh Khilafah ke Nusantara? Tidak lain karena Khilafah memiliki tugas mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Sebab, politik luar negeri Khilafah adalah mengemban Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad. Karena itu, gerak dakwah Islam dan politik Khilafah Islamiyah pasti bersifat transnasional. Rasul sendiri melakukan hal itu. Beliau mengirim surat kepada Kaisar Heraklius di Syam dan Kisra di Persia. Jelas, dakwah Rasulullah saw. kepada kedua pemimpin negara adidaya waktu itu meraupakan gerakan dakwah politik transnasional. Demikian juga ekspedisi pasukan mujahidin di bawah pimpinan Jenderal Khalid bin Walid yang dikirim oleh Khalifah Abu Bakar untuk membuka wilayah Irak pasca pemadaman pemberontakan kaum murtad juga bersifat transasional, berbagai ekspedisi yang dikirim oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab hingga mampu meruntuhkan negara Persia sekaligus memukul mundur Heraklius dan balatentaranya dari seluruh wilayah Syam dan kemudian lari ke Konstantinopel, serta berbagai perluasan Islam dalam dakwah dan jihad yang dilakukan para khalifah berikutnya hingga Islam membentang dari Andalusia (Spanyol) hingga Asia Tenggara. Semua itu merupakan bentuk gerakan dakwah dan politik yang bersifat transnasional. Tanpa dakwah dan politik yang sifatnya transnasional, Islam tidak mungkin berkembang sampai ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Kini menjadi jelas, tanpa gerakan transnasional Khilafah, mana mungkin Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayah mengirim mubalig yang mengajarkan Islam ke Jambi memenuhi surat permintaan Raja Sriwijaya Jambi bernama Srindravarman pada tahun 718M hingga Raja Hindu tersebut masuk Islam pada tahun 720 M. Kalau Khilafah bukan gerakan transnasional, mana mungkin pula Sultan Muhammad I dari Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1404 mengirimkan para mubalig yang kemudian terkenal sebagai Walisongo di Tanah Jawa. Para mubalig yang dikirim ke Nusantara dalam lima periode itu antara lain: Syaikh Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (Ayahanda Sunan Giri) dari Samarqand, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghribi dari Maroko, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, Syaikh Subakir dari Persia, Syaikh Ja‘far Shadiq (Sunan Kudus) dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dari Palestina.
Jika ada ulama di Jawa hari ini mengklaim bahwa dakwah mereka adalah mewarisi para Wali Songo, maka atas dasar alasan apa—baik secara syar‘i maupun historis—menolak gerakan penegakan kembali Khilafah yang bersifat transnasional tersebut? Apalagi jika gerakan yang mengingatkan seluruh umat Islam atas puncak kewajiban umat ini—yakni Khilafah—adalah gerakan yang dibentuk oleh seorang ulama Palestina yang merupakan cucu dari ulama besar Syaikh Yusuf an-Nabhani yang menulis kitab Syawâhid al-Haqq dan lain-lain. Ulama yang menelusuri khazanah Islam dan kitab-kitab kuning pada awal abad lalu pasti mengenal baik siapa Sayikh Yusuf an-Nabhani dan pasti mereka sungkan memusuhi anak-keturunan beliau, apalagi yang beliau kader sendiri sebagai ulama politisi seperti Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir!
Hadânâ Allâh wa iyyakum. Wallâh al-Muwaffiq ilâ aqwam ath-tharîq

Related Article:

1 comments:

Aryaceh mengatakan...

wah tokoh sejarah islam ternyata banyak ya.


 
Copyright 2010 skooplangsa. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog